25

1.2K 181 56
                                    

"Jajanan di sini enak-enak ya? Pantes dulu pipi kamu bulat banget. Sering jajan pasti... Tapi sekarang masih bulat sih, walaupun nggak sebulat waktu SMA."

"Oh, ya. Besok-besok ayo makan di situ lagi, sama Meutia juga. Atau mungkin ada tempat lain yang mau kamu rekomendasiin?"

"Al?"

"Hah? Kenapa kak?"

Narendra tersenyum simpul tanggapi sikap Aleesha yang lagi-lagi nggak menaruh perhatian padanya. Narendra sengaja memacu mobil dengan kecepatan rendah agar mereka bisa saling berbagi cerita. Tapi sepertinya dia terlalu berharap, sebab Aleesha jelas-jelas nggak berminat untuk terlibat dalam percakapan apa pun.

Sejak awal Narendra memang nggak berhenti mengoceh, sementara Aleesha hanya diam menyimak. Sesekali perempuan itu membalas sekenanya, atau sekadar menganggukan kepalanya, atau menggeleng, atau respon-respon pasif lainnya. Sekuat tenaga Narendra menahan diri untuk nggak protes. Aleesha masih butuh waktu untuk menerimanya. Pikir lelaki itu.

"Kita jadi makan rujak kan?" Tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Yang lebih muda mengangguk antusias. Sedari tadi dia memang sangat menginginkan rujak, karna mereka belum makan siang, terpaksa Aleesha menunda keinginannya itu lalu mengikuti kemauan Narendra untuk mengisi perut dengan makanan pokok.

"Gemes banget sih..."

"Isss!" Aleesha mendorong kasar tangan Narendra dari pipinya.

"Eh, maaf, maaf. Sakit ya?" Ringis Narendra, merasa nggak enak setelah mendapati respon ketus Aleesha.

"Lain kali jangan sentuh sembarangan, bisa nggak? Belum sah juga..."

Hati Narendra serasa di cubit mendengar perkataan Aleesha barusan. Dia sakit hati, sesusah itukah Aleesha menerimanya? Apa hebatnya Mickey sampai Aleesha begitu tergila-gila pada lelaki itu, dan mengabaikan seseorang yang mencintanya tanpa syarat?

"Al." Rendra raih tangan Aleesha lalu menautkan jari-jemari mereka. Lampu merah di depan sana seakan-akan memberi kesempatan untuk mereka berbicara dari hati ke hati.

"Masa kamu nggak mau ngasih kakak kesempatan? Kakak bukan tipe kamu banget ya?"

Ya Tuhan, Aleesha ingin kesal tapi nggak jadi sebab perkataan Narendra yang sangat kekanakan. Menggelikan sekali. Cibir Aleesha dalam hati. Aleesha juga sayang Narendra kok, tapi rasa sayangnya nggak lebih dari rasa sayang terhadap saudara laki-laki.

"Kata kakak pelan-pelan aja? Nggak perlu buru-buru biar Echa nggak kepikiran?"

Mana bisa Aleesha move on dari Mickey saat dia baru saja menyadari perasaannya pada lelaki itu?

"Iya, tapi kamu usaha juga dong..." Narendra sadar nggak kalo dia amat sangat egois? Terlalu memaksakan kehendak.

Aleesha menarik napasnya dalam-dalam lalu membuangnya perlahan, berusaha meredam amarah yang hendak mengambil alih akal sehat. Dia sedang hamil, ingat? Jelas saja emosinya sedang nggak stabil. Nggak heran mengapa dia ingin mencekik Narendra saat ini juga.

"Al, kakak salah ngomong ya?"

"Bisa diam, nggak?!" Geram Aleesha.

Di bentak sedemikian rupa, Narendra praktis menutup rapat bibirnya. Oke, salahnya karna mencari gara-gara dengan perempuan yang tengah mengandung. Padahal Umi sudah mewanti-wanti agar dia nggak salah bicara di depan Aleesha. Bodoh sekali.

Nggak ada yang bersuara lagi setelahnya. Keduanya sama-sama bungkam. Aleesha mengalihkan perhatian pada layar ponselnya, sementara Narendra kembali fokus pada jalanan. Bisa Narendra dengar Aleesha mendumal sebal entah sebab apa. Sepertinya Narendra benar-benar sudah menghancurkan suasana hati perempuan itu.

Don't Play-play (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang