"Sa--saudara Mickey Li-am Prasetya bin Erwin P-prasetya. Sa-- saya nikah-- kan a--anda d-dengan anak p-peremuan s-saya Cut A-- Ali--"
"Pak Hasan..."
"Maaf, p-pak penghulu, s-saya ulang lagi."
Kata-kata yang sama kembali terlontar dari belah bibir pak Hasan. Bukan kedua kali, pun ketiga kali. Melainkan ke sekian kalinya. Demi apa pun pak Hasan nggak bermaksud untuk mengacaukan pernikahan Aleesha, tidak saat putrinya itu hampir kehilangan kesadaran akibat terlalu emosional.
Singkat cerita, sebelum bertolak ke mesjid-- dalam rangka melaksanakan prosesi akad nikah, pasangan Ayah dan anak tersebut sempat mencuri waktu sekadar berbicara dari hati ke hati. Hampir dua bulan lamanya pak Hasan perlakukan Aleesha bak orang asing, dan beliau rasa sudah waktunya untuk berdamai.
Sebentar lagi putri semata wayangnya akan sah jadi menantu keluarga Prasetya, masa iya hubungan mereka masih begini-begini saja? Aleesha sih nggak rugi, toh, dia pasti akan mendapatkan kasih sayang berlimpah dari keluarga barunya. Justru pak Hasan lah yang dirugikan jikalau Aleesha memutuskan hubungan mereka.
Walaupun hal semacam itu nggak mungkin terjadi, sih. Ya kali Aleesha tega memutus hubungan dengan keluarganya? Lagipula mau lari ke mana dia kalo suatu hari nanti Mickey berulah?
"Bang, minum dulu." Paman menyodorkan botol air mineral pada yang lebih tua.
"Ndak usah. Bisa kembung perut saya." Pasalnya pak Hasan sudah menghabiskan tiga botol air mineral, bahkan sudah 2 kali bolak-balik kamar kecil.
"Aleesha, kemari anakku." Beliau kembali bersuara memanggil putrinya yang masih menangis dalam pelukan sang Ibu. Tangannya melambai-lambai, meminta Aleesha segera mendekat.
"A--ayah... Echa s-sayang Ayah... Hiks."
"Iya, Ayah tahu. Ayah juga sayang anak Ayah." Keduanya sudah berpelukan sekarang.
Untungnya akad nikah dilaksanakan secara tertutup. Hanya dihadiri oleh kedua belah pihak keluarga, pak RT, pak Haji, beserta beberapa tetangga yang berperan menjadi saksi. Apa jadinya bila satu komplek menyaksikan drama yang sedang berlangsung? Bisa jatuh imej pak Hasan sebagai sosok yang menakutkan.
"Hiks... Echa minta maaf... Echa udah buat Ayah kecewa... Echa-- E--"
"Ssst... Sudah, sudah. Ndak apa-apa. Echa sudah Ayah maafkan." Balas Ayah sembari menepuk-nepuk kepala Aleesha.
Jangan sampai putrinya gagal nikah lagi gara-gara tantrum. Kasihan Mickey. Perjalanan lelaki itu hingga sampai pada titik ini sama sekali nggak mudah. Sekarang saja bibir tipisnya nggak berhenti komat-kamit, bukan menggerutu, melainkan sedang melatih hafalan ijab qabul. Sepertinya dia sangat gugup. Wajahnya yang pucat serta bibirnya yang pecah-pecah sudah sangat menjelaskan.
"Ayah, Echa, sudah dong... Mau sampai kapan peluk-pelukan?" Ibu ikut angkat bicara. Lama-lama dia malu juga.
"Iya, Ayah sudah selesai. Ayah, s-sudah selesai..." Pun demikian, pelukannya justru makin mengerat.
Aleesha kembali sesenggukan. Riasan wajahnya sudah nggak berbentuk akibat diterjang banjir airmata. Hamil membuatnya sulit mengontrol diri, di tambah sang Ayah yang hari ini berubah jadi sosok super cengeng. Padahal keduanya aman-aman saja saat berbicara beberapa jam yang lalu, bahkan sempat saling melempar canda seakan-akan nggak terpengaruh oleh gejolak emosi.
Tapi lihat sekarang, kelakuan Aleesha dan Ayahnya persis seperti dua orang yang baru saja kehilangan sosok tersayang.
"Maaf sudah membuang waktu anda, pak penghulu. Mari mulai lagi. Saya rasa saya sudah ndak apa-apa"
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Play-play (END)
FanfictionAnother cliche story; kisah cinta beda keyakinan (not that serious tho) CW! • Markhyuck face claim • Genderswitch • Love story • Fluffy, comedy, friendship, family • Harsh words • 18+