Hubungan Mickey dan Aleesha kian merenggang tiap harinya. Keduanya nggak lagi bersenda gurau seperti biasanya. Bahkan sekedar bertegur sapa pun enggan. Mickey terang-terang menghindar, sementara Aleesha di buat kebingungan menghadapi sikap lelaki itu. Kenapa malah dia yang terkesan mengejar-ngejar? Kesal Aleesha suatu waktu.
"Nggak ke toko lagi?"
"Hah?"
Hasan abaikan makanannya sejenak, lantas menatap intens Aleesha. "Kamu ini kenapa?" Tanyanya.
Sudah 2 minggu berlalu sejak kepulangan Hasan dari luar kota. Catat, 2 minggu! Kemarin-kemarin beliau masih bisa maklum, karna bisa saja Aleesha sedang berada dalam mood yang buruk. Tapi masa iya badmood bisa berlangsung sedemikian lamanya?
"Nggak ada apa-apa kok, Ayah..." Balas Aleesha tanpa alihkan perhatiannya dari makanannya.
Omong-omong keluarga kecil tersebut sedang melangsungkan sarapan. Lagi-lagi dalam diam. Aneh rasanya mendapati perubahan tingkah laku Aleesha yang sangat tiba-tiba. Bahkan Hasan sempat berpikir yang tidak-tidak. Apa oleh-oleh darinya kurang banyak? Atau mungkin karna dia nggak berada di rumah saat Aleesha sedang sakit?
Tapi rasanya nggak mungkin sih. Aleesha nggak mungkin se-childish itu, oke?
"Perubahan tingkah laku kamu nggak ada hubungannya sama Mickey, kan?"
Mulut Aleesha praktis berhenti mengunyah. Aleesha nggak perlu repot menyanggah atau pun mengiyakan, sebab yang lebih tua jelas sudah berhasil menarik kesimpulan.
Di seberang Aleesha, Jenita tampak menahan rasa gugup. Dia sudah mewanti-wanti Aleesha dari jauh-jauh hari, tapi pada Akhirnya sang suami tetap mencium kedekatan Aleesha dan Mickey.
"Apa perlu Ayah pulangkan kamu ke Aceh?"
"Ayah..." Sela Jenita.
"Ibu jangan bicara dulu."
"Ayah tenang aja, Echa sama ko Mickey nggak ada hubungan apa-apa. Kami cuma berteman baik." Terang Aleesha akhirnya.
"Ayah pegang kata-kata kamu. Jangan sampai Ayah dengar kamu bertingkah aneh-aneh. Kalau suka laki-laki harus jelas bibit bebet bobotnya, Narendra tuh contohnya."
"Iya, Ayah." Aleesha enggan buat sang Ayah semakin berspekulasi. Jadi baiknya dia pasrah saja.
Setelahnya mereka kembali fokus menyantap makanan masing-masing. Jenita curi-curi pandang pada Aleesha, hatinya seakan teriris melihat putri semata wayangnya kehilangan semangat. Well, ikatan batin Ibu dan anak memang nggak ada duanya.
"Hari ini ikut Ibu ke toko, ya? Dari kemaren-kemaren Lisa tanyain Echa terus. Emangnya Echa nggak kangen sama Lisa?" Bujuk si Ibu.
Aleesha menghela napasnya dalam-dalam lantas membuangnya perlahan. Perempuan itu selalu terlihat lelah, padahal dia sama sekali nggak lakukan aktivitas berat. Apa patah hati memang semelelahkan itu?
"Besok-besok aja, Bu. Echa lagi males ke mana-mana." Tolak yang lebih muda.
"Sayang... Seenggaknya jangan cuma diam di rumah. Ibu lihat kamu sudah jarang main sama Raisa. Kalian nggak berantem, kan?"
Jalan pikiran orangtua tuh memang sulit di tebak. Terkadang mereka marah-marah saat anak-anak mereka main di luar rumah. Terkadang mereka juga nggak suka melihat anak-anak mereka berada di rumah sepanjang hari.
Orangtua Aleesha salah satunya. Kapan hari Jenita pernah mengomeli Aleesha gara-gara gadis itu pulang kesorean. Tapi lihat sekarang, Jenita justru berharap putrinya menghabiskan waktu di luar rumah.
"Nggak ko, Bu. Echa sama Raisa baik-baik aja, nggak ada masalah apa-apa. Lagian nanti siang Echa mau pergi sama kak Rendra. Mau bantuin kak Rendra beli kado anniversary pernikahan temannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Play-play (END)
FanfictionAnother cliche story; kisah cinta beda keyakinan (not that serious tho) CW! • Markhyuck face claim • Genderswitch • Love story • Fluffy, comedy, friendship, family • Harsh words • 18+