13

1.2K 189 67
                                    

"Pisang salenya jangan lupa, Ayah."

"Nggak mungkin lupa. Kamu tenang saja, sudah Ayah catat di buku jurnal. Headlinenya 'to Humaira'." Ujar Hasan jenaka.

Aleesha terkekeh senang, lantas bergelayut manja di lengan Ayahnya. Kalo berhadapan dengan sang Ayah tingkahnya praktis berubah. Seakan Aleesha yang binal nggak pernah ada. Nggak salah kalo Mickey analogikan Aleesha sebagai bunglon. Nyatanya perempuan itu memang pintar menyamar seperti bunglon.

"Bener ya, Yah? Awas kalo lupa..."

"Iya, iya... Udah, ah. Malu dilihatin teman-teman Ayah."

Omong-omong mereka sedang berada di bandara. Hasan dan rekan-rekan dosennya akan bertolak ke kota Banda Aceh sebab di tunjuk menjadi narasumber di seminar nasional yang diselenggarakan oleh salah satu kampus ternama di kota Banda Aceh.

Bukan hal langka sih sebenarnya, Hasan memang sudah biasa menjadi narasumber di acara seminar, baik lokal mau pun nasional. Hanya saja kali ini agak chaos gara-gara Aleesha super excited sejak kemarin.

Alasannya cukup remeh. Aleesha sudah sangat lama menginginkan pisang sale yang biasa ditemukan di toko oleh-oleh. Entah apa yang begitu istimewa dari cemilan olahan pisang tersebut, Hasan pun nggak tahu. Intinya Hasan sangat senang saat Aleesha berkata akan mengantarnya ke bandara sebagai imbalan.

Kapan lagi dia bisa pamerkan anak gadisnya yang hebat, bukan?

"Rendra, setelah dari sini langsung pulang saja. Nggak usah mampir-mampir." Hasan beralih pada Narendra yang sedari tadi berdiri di belakang Aleesha.

"Mampir ke restoran sebentar ya, pak? Kasian Aleesha belum makan siang." Tepis Narendra.

Yang lebih tua tampak menimbang-nimbang permintaan Narendra, namun kemudian mengangguk setuju setelah menyadari wajah pucat Aleesha.

Padahal Aleesha kelihatan pucat karna warna lipstiknya nggak secerah biasanya. Namanya juga bunglon, cosplay jadi innocent girl bukan hal sulit bagi perempuan itu, oke?

"Terimakasih pak, saya janji akan langsung bawa Aleesha pulang setelah kami selesai makan siang."

"Iya, tidak masalah. Tapi tolong hati-hati. Saya tidak mau dengar anak saya kecelakaan lagi."

"Insyaallah."

"Kok Insyaallah?" Protes Aleesha.

"Tetap harus izin Allah dong, dek..."

Meskipun Narendra dan Aleesha nggak secanggung saat pertama kali bertemu, tapi sampai detik ini Narendra masih berpegang teguh pada prinsipnya. Lelaki itu nggak pernah memandang lurus ke mata Aleesha setiap kali mereka berbicara.

Kadang mata Narendra tertuju pada dahi Aleesha, kadang juga ubun-ubun Aleesha, aksesoris kerudung Aleesha, ciput Aleesha, atau bahkan daun telinga Aleesha yang mencuat.

Aneh sih, tapi mau bagaimana lagi? Namanya juga akhi-akhi.

Sejurus kemudian keduanya sudah berada di dalam mobil, bersiap-siap untuk meninggalkan bandara. Cuaca hari ini cukup sejuk sebab mendung sedang menyelimuti kota. Andai saja Mickey yang berada di samping Aleesha sekarang, maka dengan senang hati Aleesha istirahatkan kedua kakinya di atas paha lelaki itu.

Demi Tuhan, kakinya sangat pegal sebab terlalu lama berdiri.

"Kenapa, dek?" Tanya Narendra tiba-tiba.

"Pegel..." Aleesha menyahut manja.

"Duh, maaf ya? Kakak nggak bisa ngapa-ngapain. Kalau kita sudah sah pasti langsung kakak pijitin."

Don't Play-play (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang