"Sudahlah, Neuk. Ikhlaskan. Mungkin kamu memang sudah ditakdirkan dengan Narendra."
"Cut mau ko Mickey, Bunda... Hiks. Cut nggak mau nikah sama kak Rendra."
"Ndak boleh ngomong gitu..."
Faktor kehamilan buat Aleesha berkali lipat lebih cengeng. Sebab itulah Bunda nggak mau berucap panjang lebar, takut kalo Aleesha semakin kepikiran dan berujung mempengaruhi kehamilannya. Punggung bergetar Aleesha di usap-usap lembut, berharap perempuan itu bisa kembali tenang.
Pasalnya hampir 1 jam Aleesha menangisi Mickey. Membuat 2 wanita asing di sudut sana terpaksa menunda pekerjaan mereka. 2 wanita asing tersebut adalah make up artist dan asistennya yang tempo hari ditemui Aleesha.
"Buk, apa bisa kita mulai sekarang? Waktu kita ndak banyak lagi." Sang asisten MUA tiba-tiba angkat suara.
"Sebentar ya, Dek." Sahut Bunda.
Kurang dari 3 jam Aleesha harus selesai didandani, sebab katanya akad nikah akan berlangsung pukul 08.30 nanti, dan jarum jam saat ini sudah menunjukkan angka 05.40. Sang make up artist tentu nggak mau terburu-buru menyelesaikan pekerjaan karna pastinya akan berpengaruh pada hasil akhir.
"Bunda... Cut kabur aja yaa..."
"Hus! Kamu ini, ngomong aneh terus."
"Cut nggak mau nikah, Bunda..."
Aleesha menangis sejadi-jadinya. Melampiaskan emosi yang sudah dia tahan berhari-hari. Semua orang di sana semakin di buat bingung. Kalo begini ceritanya, mau nggak mau si Ibu harus turun tangan.
"Astagfirullah, Aleesha..."
Untungnya Jenita lebih dulu muncul sebelum di panggil. Mungkin dia mendengar isak tangis Aleesha yang terbilang cukup nyaring.
"Echa nggak mau nikah, Bu!" Adu Aleesha pada Ibunya. Perempuan itu berlari menuju sang Ibu, lantas memeluk erat sosok yang sudah melahirkannya itu.
"Kenapa lagi sih! Ya Allah..." Jenita pening bukan main. Padahal kemarin-kemarin Aleesha tampak sudah bisa menerima Narendra, kok tiba-tiba berubah pikiran?
"Huaaa... Echa mau ko Mickey! Ko Mickey! Ko Mickey!"
"Cukup! Jangan berani-berani kamu sebut nama itu."
"Kak, sabar." Bunda ikut menengahi. Nggak tega melihat wajah kaget Aleesha saat di bentak Ibunya.
"Ayo, sini." Tangan Aleesha di tarik paksa lantas tubuhnya kembali didudukkan di tempat semula. "Mbak, tolong rias putri saya sekarang." Pinta Jenita, yang segera diindahkan oleh si MUA.
"Ibu masih ada kerjaan di dapur, jangan buat ulah, Ibu nggak mau dengar kamu nangis lagi."
Aleesha mengangguk patuh. Lagi pula nggak ada yang bisa dia lakukan selain mematuhi perintah Ibunya, bukan? Dia hanya nggak mau mencari masalah lagi. Betapa bodohnya dia karna memiliki pikiran untuk kabur.
Kalau pun Aleesha berhasil kabur, lantas apa yang bisa dia lakukan setelahnya? Tempat tujuan saja nggak punya, masa iya berakhir menggembel di jalanan? Berharap Mickey tiba-tiba muncul? Basi.
"Nggak mau pake softlens, nggak mau pake bulu mata." Ucap Aleesha tiba-tiba.
"Loh, kenapa? Padahal bagus kalau dipakein softlens sama bulu mata."
"Mata saya lagi perih, kak..."
"Kakak kasih obat tetes mau?" Tawar sang MUA.
"Nggak usah... Calon suami saya nggak suka makup tebal. Jadi tolong, makeup mata saya di buat minimalis aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Play-play (END)
FanfictionAnother cliche story; kisah cinta beda keyakinan (not that serious tho) CW! • Markhyuck face claim • Genderswitch • Love story • Fluffy, comedy, friendship, family • Harsh words • 18+