Kata siapa setia itu susah? Kesetiaan memang butuh komitmen yang kuat dan juga niat 100%, tulus serta ikhlas.
Ada masukan lain dari statement Kanes di atas?
Monggo diketik, akan aku catat baik-baik.
♡♡♡
Kesan pertamaku untuk Rehan, ternyata selain ganteng dan rapi banget, dia juga ramah sekali. Dugaanku, cowok ini sesungguhnya banyak yang naksir. Entahlah, aku tidak tahu dengan pasti kenapa dia masih se-single ini. Padahal usianya sudah cukup matang untuk membina rumah tangga. 29 tahun.
Hari-harinya disibukkan oleh jadwal di rumah sakit dan klinik. Ia juga sedang merintis usaha bengkel di Tangerang dan Bekasi. Aku tahu sedikit tentangnya, ehm ... lumayan banyak sih, mungkin. Yang jelas dia tidak sedang terlibat hubungan asmara dengan perempuan atau saudaranya pasien manapun!
Ditanya soal perempuan, dia selalu saja menjawab begini: "itu urusan nanti", "tidak ada sama sekali", "mau tahu saja sih!".
Nyebelin 'kan? Percuma tanya, toh jawabannya selalu begitu.
Karena teleponnya semalam, akhirnya aku menyambangi Rehan ke klinik. Sabtu sore kami terbiasa jalan bersama, berhubung dia sendiri dan aku pun sedang long distance relationship dengan Ian. Saling untung sebenarnya, kami jadi punya teman nonton, makan dan mengobrol tentang apapun. Bahkan, kami sering jadi partner jadi-jadian untuk ke kondangan bareng seperti layaknya pasangan lain. Untuk yang ini aku nggak pernah cerita ke Ian, lagi pula aku tidak ada apa-apa dengan sahabatnya. Kami hanya berteman dan dekat. Ehm, saling mengisi waktu.
Sore ini dia masih ada janji dengan pasien terakhir, rajin benar rupanya. Seharusnya setiap Sabtu dia bebas dari tugas, namun ia juga tak segan membuka jam praktek jika ada permintaan dari pasien yang sudah dekat dengannya.
drg. Rehan Dirga Sp. KGA.
Kubaca papan nama itu, langkahku sudah terhenti di depan ruangan Rehan. Mengintip lewat jendela yang tidak sempurna tertutup tirainya, dan menyaksikan Rehan sedang sibuk mengurus pasiennya, seorang anak kecil laki-laki.
Nampaknya pemeriksaan gigi sudah selesai. Anak kecil itu terlihat akrab dengan Rehan, padahal biasanya anak-anak takut dokter karena tidak mau disuntik. Diam-diam aku suka melihat pemandangan di depanku ini. Bibirku menyunggingkan senyum lebar, Rehan menoleh ke jendela dan balas tersenyum singkat. Sang ibu yang mengantarkan anaknya baru datang, entah dari mana. Aku menyingkir dari pintu saat ibu itu mau masuk ke dalam dan menjemput anaknya. Rehan sudah terbiasa hanya berdua di ruangan ini bersama anak-anak, orang tua mereka sepertinya mudah percaya pada Rehan karena wajahnya yang menyenangkan, pembawaannya cukup tenang, dan bijak menangani anak-anak.
Ketika sang ibu dan anak itu keluar dari ruangan Rehan, aku menyapa si adik dengan ramah. Ini pertemuan kedua kami, kebetulan di Sabtu begini dan sore hari.
"Hai, Kanza ... gigi mana yang dicabut?"
Kanza tersenyum, meringis. Ia menunjukkan bagian ompongnya sambil menunjuk dengan jari telunjuknya. Lucu.
"Jangan lupa sikat gigi!" aku mengelus rambut kepalanya.
Kanza mengangguk, masih dengan senyuman yang lucu.
"Kanza, bilang sama kakaknya, mau pulang dulu." Sang ibu mengajari Kanza.
"Eh, iya. Kakak ... aku balik ya?"
"Iya, Sayang." Jawabku sambil mengangguk. "Hati-hati ya Tante, Kanza juga ya. Dah..." kemudian aku melambaikan tangan.
"Dadah..." Kanza ikut melambaikan tangan, ia berlalu dengan ibunya.
Rehan membuka pintu ruangannya, hendak menyapaku. Tapi sebelum dia mengucapkan satu kalimat pun, telinga kami sama-sama mendengar celetukan Kanza kepada ibunya. "Ma, itu istrinya dokter ya? Kanza pernah lihat mereka kalau ke sini!"
Aku dan Rehan saling bersitatap, sedetik kemudian menggeleng bersama. Kutinju bahunya pelan, "noh! Sudah ada yang kasih kode, waktunya cari calon bini, Han!"
Rehan tak membalas, bahkan terlihat tak peduli. Ia masuk ke ruangannya dan aku mengikutinya. Ia membereskan mejanya sebentar sebelum kami pergi keluar. Begitulah, dia bisa seperti orang tuli kalau ditanya soal jodoh!
Ya, ampun. Nyebelin banget deh Rehan.
♡♡♡
Rehan berjalan di sebelahku, sejak tadi aku yang bebas memilih tempat untuk sesekali disambangi. Melihat-lihat sepatu dan tas, tapi tidak ingin membeli. Kami hanya sedang bosan sehingga sibuk keliling tanpa tujuan. Setelah kakiku agak pegal, aku mengajak Rehan mampir ke salah satu store terkenal di mal ini. Ia menjual pakaian kantoran yang sangat lengkap.
"Anak-anak selalu nurut banget ya sama kamu. Kalau kebetulan aku lihat kamu sama pasien, mereka kayaknya sayang sama Pak Dokternya, bukan cuma kamu yang sayang sama mereka." Aku melirik Rehan sebentar, tersenyum singkat. "Sudah pantes jadi bapak kayaknya, Han."
"Bisa jadi." Jawabnya sambil lalu. Cuek banget.
"Tinggal cari calonnya dong, Han. Gimana, sudah nemu?" tanyaku sungguhan. Mungkin Rehan sudah bosan mendengarnya. Ribuan kali kukatakan hal yang serupa. Mendesak.
"Udah ada sih. Tapi nggak tahu dianya gimana."
Aku menghadang jalannya, "heh, siapa? Main rahasia sama Kaneshia segala. Bilang, siapa?" Aku mencecarnya, tidak mau ketinggalan info tentang dokter satu ini.
"Jangan sekarang. Pamali."
"Weh, kenapa sih?" Aku makin penasaran saja.
"Belum ngobrol sama Mama, Nes..." Rehan berlalu di depanku, aku mengejar langkahnya yang cukup stabil.
"Kamu lagian udah mapan, punya usaha bengkel juga, yang lain-lain bisa urus bareng sama istri, Han. Ayo bilang ke mamamu lah, Rehan." Bujukku, menyemangati. "Siapa orangnya? Aku kenal perempuan itu nggak kira-kira? Penasaran ih." Langkahku sudah mensejajari langkah Rehan.
Rehan melirikku sekilas sebelum mengalihkan tatapan ke sudut yang memperlihatkan motif dasi keluaran terbaru. "Memang ada perempuan yang mau mulai bareng-bareng dari nol?"
Aku menatapnya dengan malas. "Hah, kita pernah bahas ini tahun lalu. Enggak ada yang beneran rela berjuang dari nol. Emang ini lagi isi bensin?" jelasku sambil menghela napas. "Nol komitmennya, nol semangatnya, nol kemampuannya, nol kedewasaannya. Siapa yang mau sama cowok kayak gitu sih? Kalau pun mau, dia pasti cuma butuh ketampanan kamu doang deh. Yakin!"
Rehan tertawa kecil setelah mendengar kalimatku.
"Jujur, emang kamu mau yang gimana? Siapa tahu temanku ada yang tipe kamu. Tapi, kebanyakan sudah enggak single."
Rehan menjejalkan tangannya ke saku celana. "Yang cantik, baik, setia dan asyik diajak jalan. Ada? Bengkelku baru saja buka, Nes. Butuh suntikan modal banyak, masih pinjem sama Papa juga. Jadi, kalau jalan sama aku palingan di warung pecel lele."
"Cewek mana yang mau nge-date di warung pecel? Tasya aja minimal di cafe, Han." Aku menyebutkan nama salah satu sahabatku.
"Makanya, aku enggak mau dikenal-kenalin sama teman-teman kamu itu. Sirkelnya beda."
Aku menyengir bersalah, "Kalau kata mamaku yang penting shaleha, pasti nurut sama suami, patuh dan nggak neko-neko." Aku menarik tangan Rehan menuju sudut lain. "Usahamu ke depannya pasti lancar kok. Eh, perempuan yang kamu maksud itu siapa sih, aku penasaran nih..." tanyaku tak habis-habis.
Rehan malah tersenyum dan menanyakan hal lain, di luar topik percakapan kami. "Kabar Ian gimana, Nes? Baik?"
Aku sempat cemberut karena dia tak menjawab pertanyaanku. "Ian ...."
♡♡♡
Mau lanjut kapan dan hari apa?
Aku bakal turutin jawaban terbanyak, mumpung lagi setengah malaikat!
Selamat menjalankan ibadah puasa ramadan ya teman-teman tersayang ... semoga dimudahkan dalam beribadah. Aamiin.
Love 🤍
![](https://img.wattpad.com/cover/202156798-288-k552676.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Dari Apapun
ChickLitKehidupan tak semulus selembar kertas putih, karena pada akhirnya banyak coretan tinta berbagai warna di atasnya. Itulah kehidupan yang aku jalani. Aku mencintai kekasihku, Ian. Sayangnya, jarak membentang terlalu jauh. Hari-hariku malah terjebak be...