[22] Sakit yang Tak Berdarah

425 61 12
                                    


Orang yang paling kita cintai saat ini, bisa jadi saat esok tiba ia menjadi orang yang paling kita benci.



Gimana yang kemarin habis berduka karena email dari Ian...

Masih kuat baca cerita ini kan?

Kalau masih, besok aku update lagi





BAB 22



Sepekan berlalu, aku sudah lelah menghindari telepon dari keluarga besarku sejak kembali ke Jakarta lagi. Sahabat-sahabatku dan Rehan terus menanyai kabarku. Mereka bertanya setiap hari, aku seperti mendapat serangan teror. Akhirnya, aku menjawab semua keperluan mereka dengan satu kalimat pendek, "I'm fine!". Titik.

Aku baik-baik saja?

Bohong!

Kalau saja mereka tahu, aku menghabiskan waktu—hampir setiap malam—hanya untuk menangis. Sepulang kerja, aku mengurung diri sampai lupa mengganjal perut hingga magku kambuh lagi. Dua hari lalu aku ke rumah sakit seorang diri, tidak ada yang tahu betapa sulitnya hidup akhir-akhir ini.

Semua orang terdekatku sudah tahu kabar pernikahanku, kecuali di lingkungan kantor, masih tersimpan rapi rahasiaku di sana. Biarkan saja mereka tak tahu, setidaknya ada satu tempat aman untukku hidup seperti biasa, seperti Kaneshia dua pekan lalu saat semua berjalan normal dan baik-baik saja.

Kutelan ludah, getir.

Rehan ternyata masih setia menghubungiku setiap pukul delapan malam. Dia datang ke apartemen ini, menunggu di bawah. Tapi, sampai detik ini aku tidak mau menemuinya. Melihat wajahnya mengingatkan aku pada sahabatnya, mantan calon suamiku. Entah, panggilan seperti apa yang pantas aku sandangkan untuk lelaki yang hampir menikah denganku itu.

Adrian.

Kamu tega!

Kamu jahat!

Aku menatap layar ponsel. Nama Rehan hilang, muncul nama lain, Divya, dia ikut-ikutan menghubungiku.

Aku tidak bisa terus-terusan menghindari semua orang, mereka mungkin peduli padaku walau aku sendiri tidak tahu harus bagaimana? Duniaku sedang gelap, tak ada cahaya. Langkahku terhenti. Aku tersesat, Tuhan ....

Yang tidak berhenti menghubungiku dari pagi sampai malam adalah Mama dan Noya. Dengan Mama akhirnya aku mau bicara, walau sepatah kata, "aku baik-biak saja". Tentu saja aku berbohong lagi. Karena tidak ada hati yang baik-baik saja setelah gagal menikah padahal semua hal sudah dipersiapkan. Kebaya sudah jadi, undangan sedang dicetak ulang, gedung dan catering sudah siap. Justru calon pengantinnya yang tidak siap, pergi dan membatalkan semuanya sesuka hati.

Sesuka hati? Ini bukan Adrian yang aku kenal.

Pada hari ke delapan (setelah pesan itu datang) keluarga Ian menemuiku. Mereka datang ke apartemenku, tetapi hanya mamanya yang tetap tinggal saat permintaan maaf selesai disampaikan. Beliau memelukku erat. Menangis. Aku berusaha tegar. Melawan rasa sedih sekaligus pilu walau dadaku sudah ingin meledak.

"Mungkin...," Aku menarik napas, tak sanggup mengatakannya. "Aku dan Ian memang , Tante."

Tante menggeleng pelan. "Enggak, Kanes. Ian masih bisa pulang, masih ada waktu 'kan?" Bola mata Tente kembali berkaca-kaca. Aku sendiri tak sanggup melihatnya, siapa yang tega menyakiti hati perempuan di depanku ini? Kalau bukan takdir yang memisahkan aku dan anaknya, sampai mati pun aku tidak ingin membuat hatinya sedih.

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang