[28] Perasaanku pada Ian

396 68 4
                                    



Aku masih memikirkan dia, Adrian.

Seseorang yang pernah menanamkan luka. Seseorang yang juga pernah memberiku harapan dan membuatku berani untuk bermimpi tentang pernikahan.

Kenapa dia harus lari?

Apa mungkin takdirnya sudah begini?

Aku menarik napas dalam-dalam. Beban berat di dada dan pundakku seakan menipis, mungkin karena aku mencoba sekuat tenaga untuk menerima apa yang terjadi, mencoba memaafkan salahnya dan salahku sendiri. Walau berat, aku terus berusaha.

Kubalik satu halaman yang pernah kutulis untuk Ian di buku harianku. Semua masih tersimpan di sini, kenangan berupa tulisan yang sengaja kurangkai untuknya.

Sepulang kerja, aku mengurung diri di kamar dan membiarkan Rehan sendiri di ruangan lain. Aku tidak ingin diganggu dan tidak mengizinkan siapa pun masuk ke kamarku. Aku perlu waktu untuk kembali mencerna semua ini, merapikan segalanya. Merapikan beberapa benda yang jadi kenangan antara aku dan Ian.

Aku tersenyum tipis saat melihat halaman terakhir pada diariku ini. Aku menuliskan harapanku yang ingin bersama Ian sampai Tuhan memisahkan. Apakah begini caraNya memisahkan aku dan Ian? Aku kira, kami akan terpisah dengan takdir dan keadaan berbeda, di saat kami sudah puas hidup bersama, menua bersama. Ternyata tidak seperti dugaanku. Jalanku dan harapanku berbeda.

Ekpektasiku meleset, terlalu jauh dan tinggi. Bahkan saat ini, yang jadi suamiku bukan Ian, melainkan sahabatnya.

Syukurlah, ketika membaca halaman ini air mataku tidak jatuh sama sekali. Rasa sakit yang tersisa hanya terasa perih, tidak membuatku menggila seperti dulu. Mungkinkah rasa cintaku untuk Ian sudah tak ada lagi? Apakah perasaan itu bisa hilang dalam sekejap mata?

Aku rasa, ini terjadi karena luka yang Ian berikan sangat mengejutkan. Hingga hilang rasa percayaku padanya. Kasih sayang dan cinta berakhir sudah, terganti oleh amarah. Sampai detik ini, hatiku masih menyimpan rasa khawatir untuk Ian. Takut sekali saat mendengar kabar tak baik dari negeri seberang. Takut dia terluka.

Suara ketukan pada pintu menyadarkanku.

"Kamu belum makan, Nes."

"Iya. Sebentar," jawabku buru-buru. Lalu, aku memasukkan semua benda yang berhubungan dengan Ian pada box hitam. Meletakkannya di kolong ranjang. Belum siap kubuang, tapi tidak bisa lagi terlihat oleh mata. Karena setiap melihat benda-benda itu, aku merasa masih sesak.

Setelah semuanya beres, aku menyusul Rehan ke pantri. Aku membantunya menyiapkan sup ayam ke mangkuk dan mengambilkan air minum untuk kami.

"Makasih ya, sudah masak. Padahal bisa pesan di jalan," kataku tak enak hati.

Rehan menatapku sekilas sebelum mengambilkan nasi. "Enggak masalah. Aku lagi pengin yang anget dan seger. Buatan sendiri lebih enak, Nes!"

"Tapi, kamu itu capek, Han. Aku aja males masak kalau balik kerja gini."

Rehan menunjuk kursi dengan dagunya, menyuruhku duduk. "Makanya, aku enggak nyuruh kamu masak. Aku sendiri yang terjun ke dapur." Ia menarik kursi di seberangku dan duduk di sana. "Tapi ...."

Aku berhenti mengunyah kentang saat Rehan menatapku penuh maksud. "Tapi apa?"

"Kapan-kapan, aku boleh dong minta dibuatin sesuatu sama istriku?"

Tiba-tiba saja aku tersenyum. "Lucu banget sih kamu? Iya, boleh. Kalau aku enggak malas!"

Rehan setengah berdiri, tangan kanannya menggapai puncak kepalaku dan mengusap-usapnya. "Makasih," lirihnya.

Susah payah aku menahan diri untuk tidak loncat dari kursi, benar-benar terkejut dengan tindakannya yang di luar dugaan. Meski aku tahu, kalau Rehan sedang berusaha keras mengakrabkan diri kami, agar interaksi kami seperti pasangan normal, suami dan istri sungguhan. Namun, aku tetap merasa kaget kalau ada hal-hal di luar kebiasaan seperti ini.

Kutatap Rehan setelah irama jantungku lumayan tenang, dia sedang mencicip sup buatannya yang masih panas. Kalau dilihat-lihat, Rehan seperti sosok suami yang ideal. Baik, sabar, pinter masak, dan tampan. Mungkinkah aku bisa memiliki perasaan lebih untuknya?

Jujur, saat ini aku benar-benar menyadari ketulusan dan perhatian yang selalu Rehan curahkan untukku.

Pernikahan ini bukan tentang rasa belas kasih darinya, tetapi tentang pengorbanan dan kelapangan hatinya untuk menerimaku secara utuh. Menerima aku yang belum bisa jadi apa-apa, dan tidak sempurna.

Usai makan, aku menawarkan diri untuk membereskan dapur. Mulai dari mencuci piring hingga mengelap meja. Rehan membantuku menyapu lantai yang sebenarnya tidak kotor sama sekali. Dia hanya terlalu rajin dan superhigenis.

"Aku mau nonton bola. Mau ikut, Nes?" ajaknya sambil berjalan ke ruang tengah.

"Jam berapa memang?"

"Sekarang dong." Rehan sudah menyalakan televisi dan duduk di karpet. "Masih enggak suka bola ya?" tanyanya ketika aku duduk di sofa.

"Enggak."

Rehan menoleh sebentar, tersenyum tipis. "Tapi, malam ini TV-nya aku kuasai dulu ya?"

"Iyaaa," jawabku sabar.

Sedetik kemudian Rehan langsung fokus pada tontonan di depannya. Aku yang tidak pernah mau tahu urusan bola, lebih tertarik untuk menatap punggung Rehan. Lama kelamaan Rehan lelah duduk, dia membaringkan diri di karpet setelah meminta bantal di pangkuanku. Pandangannya masih fokus ke layar televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola antara Indonesia dan Malaysia.

Hatiku seketika menghangat ketika melihat ekspresi lucu di wajahnya. Ia tampak kecewa saat jagoannya gagal menendang bola ke arah gawang. Namun, setengah jam kemudian dia berteriak kencang, mengagetkanku walau aku sudah bersiap-siap.

"Gol!!!"

"Gol, Nes. Gol!!"

"Iya, iya. Jangan berisik," ucapku sambil geleng-geleng.

Dia merubah posisinya jadi duduk di sebelah kakiku. Lalu menoleh dan mengusap daguku lembut, membuat bulu romaku meremang seketika. "Gol, Sayang!" katanya, sebelum kembali fokus pada televisi.

Aku terlongo sekian detik. Masih mencerna panggilan barunya itu. Sayang?

Semoga setelah beberapa hari menikah, dia tidak minta macam-macam dulu. Jangan, Han, jangan sekarang di saat aku masih memikirkan Ian. Membayangkan wajah dan senyuman manisnya Ian. Aku tidak ingin menyakiti perasaanmu karena membayangkan laki-laki lain saat di ranjang nanti. Ggrrrr.

Lama-lama aku mengantuk. Lalu menarik bantal dari ujung sofa dan menatanya. Kubaringkan tubuh di sofa dengan pandangan sudah tak fokus.

Rehan menoleh, "Kamu sudah ngantuk ya?"

"He-em."

"Ya sudah, tidur aja. Aku janji enggak bakal berisik," ucapnya disertai cengiran lucu. "Mau tidur di sini?" tanyanya sembari menepuk sofa yang lembut.

"Iya. Sebentar aja." Sedetik kemudian aku mencoba memejamkan mata. Meski Rehan bilang tidak akan berisik, tapi suara televisi sedikit mengganggu. Aku juga tidak tenang, takut kalau Rehan malah nekat menggendongku ke kamar karena tidak mau membangunkanku.

Alhasil, aku buru-buru bangun untuk pindah ke kamar. "Aku masuk aja, Han."

"Nes?" panggilnya saat badanku sudah berdiri di depan pintu kamar, tinggal selangkah lagi aku masuk.

"Hem," kataku sambil menoleh.

"Good night. Semoga tidurmu nyenyak," ucapnya penuh senyuman manis.

Aku membalas dengan senyuman, lalu bersegera masuk dan menutup pintu.



_____

Tanya dong!

Apakah Rehan sudah menjadi suami ideal buat Kanes?

Ini lanjut besok aja ya kakak-kakak?? 😁😁

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang