Komitmen yang sebenarnya adalah komitmen kita dengan diri kita sendiri. Ini dilakukan biar tidak sakit hati. --Kanes
Bab 18
Aku baru mendapatkan desain undangan yang cocok untuk pernikahanku. Finalnya baru kukirim kepada Ian, dia sudah janji akan menerima semua konsepku dan hanya menyumbang beberapa usulan.
Menyiapkan pernikahan tanpa pasangan yang mendampingi rasanya seperti ... ya, beginilah.
Lelah luar biasa. Capek.
Kalau bukan karena cinta, sayang, rindu dan segala hal yang berkecamuk dalam dadaku setiap waktu, hari, minggu dan bulan, mungkin aku nggak akan sanggup menopang beban tubuhku sendiri. Oh, jangan lupakan karunia yang telah Allah berikan. Kekuatan, kesabaran yang semakin berlapis-lapis, juga keberanian menekan egoku sendiri.
Rasanya aku ingin menangis dan ya, aku sudah menangis beberapa hari lalu di bulan Agustus. Stres. Pusing. Sakit. Lelah dan benar-benar capek! Aku terus berdoa pada-Nya, meminta agar menambahkan kekuatan padaku, kesabaran meladeni semua hal yang terjadi tanpa Ian di sampingku. Kuat ... aku pasti kuat ... kata-kata yang kuulang setiap hari di depan cermin biasanya berpengaruh besar, memengaruhi tindakanku hari itu.
Memang sulit mengurus semuanya sendiri.
Aku juga hampir menyerah.
Ini seperti pernikahan dua negara atau dua kewarganegaraan saja ya?
Sudah tujuh pekan, tujuh kali pula aku pulang—bolak-balik—ke kampung halaman. Mengurus semua hal, mengukur baju dan semuanya. Untuk bajunya Ian, aku menyesuaikan dengan setelan kemeja dan celananya yang sengaja kusimpan untuk jaga-jaga. Dan benar saja, itu semua berguna saat ini.
Keluarga Ian sempat membantuku mengurus undangan dan hal-hal kecil, tetapi hanya dua kali saja karena mereka juga sedang sibuk dengan kelahiran keponakan baru Ian. Adiknya yang harusnya bisa kuandalkan malah sedang riset di luar kota. Jadilah aku sendiri, benar-benar sendiri.
Akhirnya setelah masalah dengan pengukuran kebaya selesai, tinggal menunggu hasil jahitan terbaik, pekan ini aku bisa leha-leha di Jakarta. Menikmati akhir pekan di rumah salah satu sepupuku yang sudah berkeluarga.
Hari Jumat sepulang ngantor aku langsung mengemudikan mobil ke perumahan di Jagakarsa, menuju kediaman Mbak Anah. Dua hari ke depan rencananya akan menginap di sini sambil menceritakan prosesi persiapan pernikahan dan meminta masukan dari yang sudah berpengalaman. Sayangnya Sabtu ini Mbak Anah ada acara penting dan dia tidak bisa absen. Sementara itu aku dititipi Dewa, anaknya yang berusia delapan tahun. Anak kecil itu sedang menangis, merintih di sebelahku sambil memegangi pipinya.
Dewa salah satu korban sakit gigi karena terlalu doyan dengan yang manis-manis dan tidak bisa berhenti makan cokelat, saban hari. Dia menangis sejak selesai sarapan tadi pagi. Aku jadi kasihan, menariknya ke dalam pelukan. Aku mencoba membujuknya untuk berobat ke dokter.
"Dek, mau nggak kakak anterin ke dokter?"
"Nggak!" Dewa malah membentakku, sampai terkejut rasanya. Dia menarik diri dan berguling di atas sofa, menjejakiku. "Mau sama Mama!"
"Mama baliknya sore, kamu mau nangis sampai sore?" Aku bertanya hati-hati. Sabar.
"Nggak pa-pa," ucapnya sambil tergugu.
Air matamu itu bikin Kak Kanes trenyuh, Dek!
Sudah dipeluk, disayang, dielus-elus, masih tidak berhasil. Kuputar otak agar Dewa mau menurut sedikit saja padaku. Ah ya! Terlintas ide ini saat mengingat Rehan. Aku tersenyum, membujuk lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Dari Apapun
ChickLitKehidupan tak semulus selembar kertas putih, karena pada akhirnya banyak coretan tinta berbagai warna di atasnya. Itulah kehidupan yang aku jalani. Aku mencintai kekasihku, Ian. Sayangnya, jarak membentang terlalu jauh. Hari-hariku malah terjebak be...