Sabtu ini Rehan harus pergi ke bengkel, dia sudah lama absen dari pekerjaan keduanya itu. Sebelum dia pergi, aku meminta diantar ke rumah Divya dan bertemu dengan teman-temanku yang lain.
Tadi pagi saat bangun tidur aku melihat wajah Rehan begitu cerah. Ia terlihat sangat bahagia, apakah hatinya sedang berbunga-bunga seperti anak muda yang sedang jatuh cinta? Berulang kali dia berbisik di telingaku, "aku bakal jadi ayah yang baik, Sayang."
Senyumku terus mengembang sepanjang hari ini. Sebagian orang berkata, tidak ada kehidupan yang sempurna tanpa masalah dan lika-liku lainnya. Justru aku senang sekali karena berkat lika-liku kegagalan pernikahanku akhirnya aku bisa bersama dengan Rehan. Membangun yang namanya keluarga. Rumah tangga. Meski jalanku dan dia harus berputar-putar dulu. Itulah hidup, tidak ada yang bisa menebak.
Aku semakin percaya bahwa di balik setiap musibah pasti ada karunia indah yang akan Tuhan berikan. Dia akan mengganti seseorang yang pergi dengan seseorang baru, yang lebih baik untuk hidup kita ke depannya. Rehan adalah jawaban. Dia adalah hadiah terindah di sisa hidupku kini.
"Gue isi, alhamdulillah masuk bulan kedua," Kataku sambil tersenyum. Aku dan tiga sahabatku sedang berada di kamar anak bayi, putra Tuan dan Nyonya Dimitri. Dan aku sudah tak sabar mengatakan kabar bahagia ini.
"Alhamdulillah...," ujar Divya, Zahra dan Tasya berbarengan. Tasya menambahkan, "terus kerjaan lo gimana? Bukannya laki lo maunya lo di rumah aja ya, Nes?"
"Hust...." Divya mengingatkan Tasya untuk kesekian kalinya, "anak gue lagi tidur!"
Tasya menyengir, dia yang paling heboh sejak kami datang kemari.
"Dedek lagi bobo, Sya. Volumenya dikurangin dikit lah," Zahra berkomentar dengan suara lembutnya.
Aku mengangguk, resah saat teringat pertanyaan Tasya barusan. "Itu dia yang lagi jadi masalah gue, Rehan kemarin minta gue buat buru-buru keluar, tapi nggak bisa 'kan?" kutatap wajah-wajah sahabatku. Membuang napas perlahan-lahan. Zahra langsung mengelus punggungku, sementara Divya mulai meletakkan anaknya dalam ayunan. Tasya mengayun pelan sambil berdiri di sampingku.
"Nurut suami aja, Nes. Mulai cari pengganti buat ngurus kerjaan lo. Moga cepet dapet deh!" Divya menepuk punggung tanganku pelan.
"Pasti Kanes juga lagi usaha, udah bilang HRD-nya 'kan?" tanya Zahra.
Aku mengangguk. Benar-benar bersyukur dipertemukan dengan orang-orang seperti mereka. Kali ini aku ingin bertanya pada Divya, mengalihkan topikku ke proses persalinannya Divya. "Eh, lo nggak jadi caesar, Di?"
Divya tersenyum sambil menatap anaknya. "Iya, alhamdulillah jalannya dimudahkan. Jadi, sekalian biar bisa punya banyak anak 'kan? Gue juga nggak ikut program KB, keluarga berencana. Kata Mas Arya kita ikutnya KB yang ini aja, keluarga besar! Hihihi."
"Yah...." Tasya mulai heboh lagi, Divya memelototinya karena khawatir anaknya terbangun. "Lucu juga laki lo, Di. Masih ada nggak sih yang kayak Arya? Dingin-dingin menenangkan," Tasya malah salah fokus.
Divya menanggapi dengan gelengan heran.
Zahra tersenyum sebelum berkata, "Iya, setuju sama laki lo, Di. Banyak anak banyak barokahnya, insyaAllah."
Kami bertiga kompak mengaminkan.
"Nes, gue mau tanya." Tasya agak berbisik, bayi dalam ayunan mulai bergerak lagi. Divya bangun hendak menepuk-nepuk anaknya. "Ngomong-ngomong laki lo kemana, Nes? Lo sendiri ke sini?"
"Pak Dokter lagi ke bengkel yang di Bekasi. Nah, Nyonya Kanes tadi di-drop ke sini. Duh, mesranya pas perpisahan, padahal cuma ditinggal ke Bekasi doang, kayak mau ditinggal nyebrang pulau." Divya menjawab pertanyaan Tasya, dia lebih banyak tahu tentangku dan Rehan semenjak aku sering meminta nasihat darinya atau sekadar bertukar pikiran. Sebab dari tiga sahabatku yang sudah punya pengalaman menikah memang baru Divya seorang.
Aku tertawa pelan. Rehan agak berlebihan, mengantarku sampai depan pintu kamar ini.
"Heh, lo juga sama ya! Kalian berdua kalau sudah ketemu suami masing-masing macam merpati, kemana-mana berdua." Tasya mengomel, membuat kami pecah tawa.
"Hust ... anak gue guys...," Divya kembali mengingatkan. "Sayang ... Mama di sini..." Divya mengelus lembut kepala anaknya.
"Makanya kamu nyusul saja kalau sudah ada yang cocok, Sya." Zahra memberi saran. "Nggak baik pacaran lama-lama, ya 'kan, Di?"
Divya mengangguk. Membenarkan. Sementara wajah Tasya mendadak cemburut, kurang suka diberi petuah dan diingatkan.
"Sya, cari yang beneran serius, jangan banyak mainnya lah." Aku ikut memberi saran, sudah gerah dengan Tasya yang sering ganti teman jalan. Berbanding terbalik dengan Zahra yang minim jalan dengan lawan jenis.
"Gue bakal nikah cepat kalau ada laki-laki kayak Rehan atau Arya di depan mata gue," Tasya berujar bercanda.
"Kenapa mesti lakinya Kanes dan gue sih?" Divya mengernyitkan kening. Tak habis pikir.
"Rehan tanggung jawab banget lagi! Nih ya ... saat sahabatnya lari dari tanggung jawab dan enggak nepatin janji, dia malah datang buat Kanes. Pahlawan banget nggak sih suami lo, Nes?" Tasya menyenggol lenganku pelan. "And, kalau laki lo, Di. Sudah jangan diomongin terus, nanti lo cemburu lagi sama gue! Hahaha."
Divya terkikik geli mendengarnya, dia sadar bahwa Tasya memang pernah bilang kalau Arya itu tipe idealnya.
Aku menunduk, diam. Kalau mengingat masa itu rasanya sepercik sakit masih bisa kurasa, belum hilang sepenuhnya. Hati memaafkan tapi kenangan tetap ada. Biar bagaimanapun masa lalu yang sempat terjadi dan berhasil menorehkan luka tak akan mudah lepas begitu saja.
Divya menepuk pelan lengan Tasya. "Eh, Kanes sama Rehan kemarin-kemarin masih kayak Tom and Jerry, kok. Tasya, enggak semua yang lo lihat di permukaan itu menunjukkan sisi dalamnya. Jangan cari yang sempurna, nggak bakal ada."
Aku mengangguk setelah penjelasan Divya selesai. "Sya, suami gue enggak sesempurna yang lo kira. Divya benar kok. Kita hanya bisa menutupi kekurangan pasangan dan saling melengkapi aja."
Tasya terbengong sekian detik, matanya tampak berkedip. "Kalian pas sudah menikah jadi lebih dewasa ya?"
"Masa?" tanyaku kaget. Dulu aku merasa terlalu labil dan paling emosional di antara kami berempat.
"Dewasa itu perlu proses dan memilih." Zahra berkata, "menjadi dewasa nggak harus menunggu sampai sudah menikah atau di usia sekian atau sekian. Bisa dimulai dari sekarang kok, Sya...."
"Benar!" aku mengacungkan dua jempol.
Lagi, Divya mengangkat telunjuknya ke depan bibir. Seketika kami menahan tawa dengan membekap mulut masing-masing. Tasya sempat merenung setelah mendengarkan kata-kata dari Zahra. Menjadi dewasa itu pilihan dan perlu proses menujunya.
Baik! Aku mengerti juga akhirnya dan aku mau belajar agar seimbang di sisi Rehan. Aku tidak mau menjadi pasangan yang tidak bisa bertumbuh sama sekali. Sejak tahu aku sedang mengandung, aku berniat untuk hidup di sisi Rehan sampai akhirku tiba.
_________
JANGAN LUPA VOTE - KOMEN YANG BANYAK YAAA GUYS...
OH YA, KEMARIN BANYAK YANG MINTA HAPPY ENDING AJA
JANGAN SAD, KARENA HIDUP SUDAH TIDAK IDEAL SAMA SEKALI
OKAY, AKAN AKU BUAT ENDING YANG BIKIN KALIAN BISA TIDUR NYENYAK DAN BAHAGIA YAAA...
SAMPAI JUMPA DI BAB BERIKUTNYA :)))))
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Dari Apapun
ChickLitKehidupan tak semulus selembar kertas putih, karena pada akhirnya banyak coretan tinta berbagai warna di atasnya. Itulah kehidupan yang aku jalani. Aku mencintai kekasihku, Ian. Sayangnya, jarak membentang terlalu jauh. Hari-hariku malah terjebak be...