Soriii ga di update secepatnya, ada urusan duniawi yang harus diprioritaskan :))
Happy reading
Jangan lupa VOTMENT ygy :))🤍🤍🤍
Singkat cerita, setengah jam lalu aku baru sampai di restoran Bali yang olahan ayamnya terkenal itu. Aku sudah membuat janji dengan Divya dan Tasya di Sabtu siang ini. Karena Rehan ada urusan di bengkel dan akan pulang sore, aku bisa pergi bersama teman-temanku selama mungkin.
Di meja ini, hanya ada aku dan Divya. Tasya terlambat, kebiasaan sejak zaman kuliah dulu. Dia belum berubah sama sekali.
"Di, Arya over protektif banget kayaknya semenjak lo hamil gini," komentarku akhirnya. Aku sempat melihat Divya diantar oleh sopir suaminya.
Kata Divya, suaminya sedang ada urusan dinas ke luar kota. Dan yang paling terlihat jelas adalah Divya yang suka makan masakan pedas, tetapi kali ini memilih yang biasa. Sebab Arya mendadak meneleponnya untuk mengingatkan sang istri agar tidak makan yang aneh-aneh. Hohoho ... lucu sekali mereka.
Divya mengangguk, bibirnya yang dipulas lipstick lembut tersenyum manis. "Gue ikut aja lah, dia tahu yang menurutnya baik." Kehamilannya memasuki trimester ketiga, harus hati-hati sekali dengan kondisinya.
"Salihah banget lo ya," timpalku, "patuh sama suami, surga dapet nih."
"Lha, istri 'kan harusnya begitu." Dia menyesap minumnya yang baru saja tersaji. "Lo sama Pak Dokter gimana?"
Aku mengendikkan bahu, ragu. "Gitu. Sebel kadang."
Divya menatapku lurus, meminta penjelasan.
Aku buru-buru menggeleng. Sejujurnya aku mau curhat panjang lebar, tapi takut kualat. Lebih baik kusimpan saja sendiri, takut yang keluar dari mulutku malah sesuatu yang salah. Tadinya aku mau cerita soal perdebatan sengit dari Senin sampai Jumat di dalam mobil, di tengah-tengah jalan yang macet luar biasa, di antara ratusan kendaraan padat merayap. Sesak.
Aku hanya bisa mengembuskan napas panjang, menahan diri dari godaan setan.
"Sabar, Nes. Kamu cuma belum paham sikap dia aja. Jangan lupa, apa-apa harus di komunikasikan dengan baik. Komunikasi dua arah. Biar balance, Nes." Nasihat Divya kalem, logis juga nih. Maklum, dia 'kan lebih berpengalaman dariku.
Iya, harusnya memang begitu. Komunikasi lancar adalah kunci suatu hubungan yang berhasil.
Divya benar, tapi aku masih belum bisa mengontrol emosi dengan baik. Juga, belum bisa menerima sepenuh hati kalau Kaneshia yang sekarang sudah tidak single lagi. Sudah tidak sebebas dulu kalau mau ngapa-ngapain. Nonton TV sambil makan camilan saja ada yang lihatin, gimana nggak kaget? Padahal selama ini aku terbiasa sendiri. Aku butuh waktu, butuh sekali memahami semua ini.
Aku menerima kehadiran Rehan dalam hidupku, tapi belum rela waktu dan aktivitasku tercerabut satu persatu karena ada intervensi dari dia. Termasuk hal-hal sepele harus dibicarakan dengan dia, seperti masalah potong rambut. Aih.
"Gue sama Arya dulu juga masih sering berantem, sepele banget masalahnya. Dia juga dingin dan enggak banyak omong. Jadi bingung, gue ngambek sendiri aja, lucu kalau diingat-ingat. Prasangka gue buruk terus ke suami, rasanya nggak enak banget, nikah kok diem-dieman." Divya terlihat engap, dia menarik napas lagi. "Sampai akhirnya pelan-pelan kami berubah. Dia jadi lebih banyak ngasih respons dan aku yang nggak sering-sering baper." Divya tertawa hangat. Dia terlihat sangat bahagia dengan pernikahannya yang awalnya seperti dijodohkan tanpa sengaja, sama bos sendiri lagi. Klasik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Dari Apapun
Literatura FemininaKehidupan tak semulus selembar kertas putih, karena pada akhirnya banyak coretan tinta berbagai warna di atasnya. Itulah kehidupan yang aku jalani. Aku mencintai kekasihku, Ian. Sayangnya, jarak membentang terlalu jauh. Hari-hariku malah terjebak be...