Komen per baris yuk, kita kebut ceritanya
Biar enggak penasaran lagi sama endingnya
Komen per baris dimulai ....!!
Bab 43
Dua kali flek dalam satu pekan. Mungkin ini akibat kelelahan, beban pikiran dan tingkat stresku yang tidak bisa dikendalikan. Flek kali ini datang dengan rasa sakit yang hampir tidak bisa kutahan, aku memutuskan untuk datang ke rumah sakit seorang diri. Aku langsung bertemu dengan dokter yang sudah tahu riwayat kehamilanku. Ternyata jawaban dokter itu masih sama, ia bilang kalau aku kelelahan dan butuh istiahat.
Ini istirahat yang tidak biasa, harus total. Sementara dua pekan lagi aku baru bisa keluar dari kantor. Pekerjaan masih bertumpuk-tumpuk, tanggungjawabku besar di sana. Ya Tuhan ... dadaku sesak. Aku butuh pertolongan-Mu.
Kalau saja aku bisa membelah diriku menjadi dua, aku sudah ingin melakukannya sejak satu bulan lalu. Aku juga sudah lelah dengan semua hal yang telah aku lakukan di belakang Rehan, aku selalu bangun lebih pagi dari biasanya untuk menyiapkan segala sesuatu agar bisa pergi ke kantor lebih awal. Saat Rehan mandi, aku sembunyi-sembunyi mengecek e-mail kantor dan mengerjakan hal-hal yang bisa diselesaikan lebih dulu.
Aku merasa tertekan dan takut ketahuan oleh suamiku sendiri. Kalian tahu rasanya seperti apa? Rasanya seperti sedang selingkuh dengan seseorang yang lebih kucintai daripada suamiku sendiri.
Benar-benar sandiwara yang luar biasa.
"Kenapa kamu pulang cepet? Tumben banget?" tanya Rehan saat dia baru sampai di apartemen.
Aku membantunya membawakan tas kerja, meletakkan di sofa dan membantu dia melepas kemeja. Aku juga sudah menyiapkan handuk serta baju gantinya. Malam ini aku berusaha melayaninya dengan baik karena rasa bersalahku tadi siang.
"Kanes?" Rehan menatapku lekat, seolah tahu ada yang tidak beres di sini. Dia menurunkan tanganku dari kerah bajunya. "Kamu belum jawab aku. Kamu kenapa tadi pulang cepet dan nggak mau dijemput?"
Bukannya menjawab, aku malah menjatuhkan kepala ke dadanya, menangis tersedu-sedu. Tidak bisa menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Dokter bilang aku harus hati-hati menjaga kandunganku karena sangat lemah. Aku yang kini bermasalah, bukan Rehan. Aku ibu yang kurang peka. Menyedihkan.
Karena takut Rehan khawatir kalau aku menjelaskan semuanya, akhirnya aku tidak jujur. Lebih tepatnya aku tidak bisa jujur. "Aku cek ke dokter, nggak ada apa-apa."
Tentu Rehan tidak percaya begitu saja. Ia menyipitkan mata. Meraba perutku seolah ingin merasakan sesuatu, tangannya diam di sana. Aku menunduk dan mataku basah lagi. Rasanya sulit sekali untuk berbohong pada Rehan, takut ketahuan dan takut dosaku semakin menggunung.
Saat Rehan masih diam, aku berusaha menjelaskan semampuku dengan rasa gugup. Ini tidak mudah. Mengatakan kebenaran bukan hal yang gampang. "Aku lagi ngurus banyak hal di kantor, termasuk laporan tahunan yang masih menjadi tanggungjawabku. Semua harus beres sampai pekan depan...."
Rehan mengajakku duduk di sofa. Tidak ada yang bicara di sana. Aku menyandarkan kepala di bahunya, dia termenung seperti sedang memikirkan banyak hal. Kepalanya pasti penuh. Andai dia mau membagi kerumitan itu denganku, aku rela. Namun, tidak begitu ceritanya, karena Rehan tetap diam sampai beberapa menit ke depan.
"Mas," lirihku akhirnya.
Rehan buru-buru menarik pundakku hingga kami berhadapan, dia menatap mataku dengan pandangan tidak siap kehilangan sesuatu. "Terus kita harus gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Dari Apapun
ChickLitKehidupan tak semulus selembar kertas putih, karena pada akhirnya banyak coretan tinta berbagai warna di atasnya. Itulah kehidupan yang aku jalani. Aku mencintai kekasihku, Ian. Sayangnya, jarak membentang terlalu jauh. Hari-hariku malah terjebak be...