[6] Kemana Arahnya

455 57 3
                                    


Kehidupan di luar sana tidak tertebak. Penuh rahasia terpendam. Persiapkan untuk bertempur menghadapinya.


Minta vote-nya dulu donk Bestie Wattpadku. Makasih ya.

Salam dari Ian dan Rehan. Dua dokter yang cakep dalam lamunan.


***



Aku sengaja mengaktifkan notifikasi setiap postingan dari salah satu relawan yang kuikuti di Instagram, tentu saja karena aku ingin mengetahui perkembangan di Gaza, Palestina. Meski kadang akun tersebut memberitakan konflik muslim di negara lain seperti Syria. Dan saat ini wajahku basah setelah melihat video satu menit tentang aksi demonstrasi warga Palestina terhadap pemerintahan Israel. Banyak korban yang luka-luka akibat balasan dari tentara Israel.

Ada seorang demonstran kebangsaan Palestina yang kakinya lumpuh akibat tertindih reruntuhan bangunan beberapa bulan lalu, ia duduk di atas kursi roda dan melawan musuh dengan melemparkan batu ukuran sedang sampai sebesar genggamannya. Tak ada senjata api, persenjataan seadanya. Hatiku menghangat, trenyuh, mataku berkabut lagi.

Membuat aku teringat Razan Najjar, seorang paramedis asal Palestina sendiri yang meninggal pada tahun 2018 lalu. Dia baru berusia 21 tahun dan harus merasakan sakit luar biasa karena terkena timah panas seorang tentara Israel. Timah itu bersarang di tubuhnya saat hendak menolong korban unjuk rasa. Ya Allah, aku tak sanggup bila harus membayangkan nasib Ian, separuh diriku mendadak egois, menginginkan dia kembali ke sini secepatnya. Aku cemas luar biasa.

Semoga semua orang yang berjuang dalam jalan mulia ini, baik relawan, paramedis, warga asli yang bertahan, dan semuanya, tetap dalam penjagaan-Mu Ya Robb.

Segera kukirim pesan melalui e-mail pada Ian, menanyakan kondisi di sana dan menanyakan kabarnya. Sebenarnya, sudah banyak e-mailku yang belum terbalas, mungkin ia tak ada waktu untuk membukanya. Jam kerjanya sudah pasti terlalu padat dan sibuk. Berharap dia selalu sehat dan dalam keadaan baik.

Menjelang jam istirahat kantor, e-mail terakhir yang kukirim belum mendapat balasan apa pun dari Ian. Sepertinya dibaca pun belum. Lagi, menjelang jam makan siang habis, aku belum mendapat notifikasi apa-apa dari e-mail pada ponselku. Rasanya lemas, tak selera makan, banyak pikiran mengenai kondisi Ian di sana.

Aku sempatkan menelepon Rehan saat jam istirahat selesai. Sudah tidak fokus bekerja lagi meski laporanku harus update secepatnya. Kukira pekerjaan masih bisa menunggu sebentar lagi, sementara urusan gelisah hati ini harus segera diredakan.

"Kanes, kamu tenang ya. Meski ada konflik bersenjata antara pejuang Palestina dengan tentara Israel, Ian kan pernah bilang bahwa keamanannya tetap terjamin. Pemerintah Palestina selalu melindungi para relawan dari berbagai negara, Nes." Sekali lagi Rehan mencoba membuatku tenang.

Aku mengangguk patuh pada kalimat yang baru saja Rehan sampaikan, tak bicara apa-apa lagi.

"Kalau Ian sudah tidak terlalu sibuk dengan kegiatannya di sana, dia pasti balas e-mailmu. Tunggu saja, jangan terlalu khawatir seperti ini. Tenang, hentikan asumsi yang nggak masuk akal. Pikirkan pekerjaanmu hari ini, selesaikan," ujar Rehan memotivasi.

Aku baru akan menjawab, tapi tenggorokanku mendadak gatal dan serak, aku terbatuk-batuk.

"Kamu harus banyak minum air putih, Nes. Dehidrasi juga bisa bikin kamu sakit. Ya, jangan lupa!" titahnya.

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang