Bersamamu, aku menemukan arah.
(Hai Kak, Mbak, Sis, Bun ... bantu Vote dan Komen ceritaku ya. Itu sangat berarti untukku)
Februari.
Sejak awal menikah dengan Rehan, aku memang tidak merahasiakan apapun darinya, termasuk pergosipan di dalam grup Whatsappku dengan para sahabat sejak masa kuliah. Rehan sudah lama mengenal tiga sahabatku sejak masih di Bandung. Kebetulan kami pernah beberapa kali jalan bareng, dengan Adrian dan dengan mantan kekasih Divya juga. (Baca "Story of Divya")
Sejak tadi aku sibuk membalas pesan-pesan di grup yang mengabarkan bahwa Nyonya Dimitri alias sahabatku bernama Divya baru saja melahirkan seorang anak laki-laki di rumah sakit Pondok Indah. Normal. Bayi dan ibunya selamat, sehat dan fotonya sudah dikirim ke grup oleh Tuan Dimitrinya.
Aku mengirim stiker love untuk mereka.
"Kamu jadi ke RS, Yang?" Rehan menyentuh pundakku setelah mengambilkan minuman hangat. Perut dan kepalaku rasanya tidak enak sama sekali. Bangun pagi langsung pusing.
"Enggak tahu, denger namanya saja bikin nggak niat ke sana. Tapi, ini Didi ... masa aku nggak ke sana sih, Mas?" Aku meletakkan ponsel dan mengambil gelas dari tangan suamiku. Meminum beberapa teguk. "Makasih," kataku.
Rehan menerima gelas itu kembali sambil mengangguk.
Masih pukul delapan pagi, Sabtu ini Rehan sampai tidak jadi ke bengkel karena melihatku pucat dan kurang sehat. Ia rela mengorbankan jadwal kerjanya yang dua pekan sekali itu demi menemaniku di sini. Aku tersenyum di balik selimut.
"Kalau sampai siang kamu masih nggak enak badan, mending nggak usah ke RS jenguk Divya dulu. Nanti aku kirim pesan buat sahabat-sahabatmu yang nunggu."
Aku mengangguk patuh.
"Jenguk di rumahnya juga bisa 'kan? Nanti aku yang antar."
Lagi, kepalaku mengangguk ringan. Rehan menyentuh keningku, tidak panas. Aku memejamkan mata, Rehan mulai memijat tanganku yang berada di pangkuannya. Dia sudah memaksaku untuk memeriksakan diri sejak Jumat kemarin, tapi aku menolak dengan alasan hanya kecapekan dan butuh istirahat.
"Kenapa?" tanya Rehan saat aku menatap wajahnya intens. Teringat kejadian kemarin yang membuat aku berpikir keras, istri macam apa aku ini yang belum menurut padanya. Masih susah diatur, membantah, serta doyan mengeluh.
"Kok kamu nangis...?" Rehan mendekatkan wajahnya, tangannya mengusap cairan bening di pipiku yang jatuh perlahan-lahan. "Aku salah ya? Sayang...." Ia nampak cemas.
Seketika aku bangkit dan memeluk Rehan dengan sangat erat. Tangis tak dapat aku bendung lagi, aku membenamkan wajah ke dadanya sambil mengingat sisa memori kemarin.
Pagi itu kepalaku mendadak pusing. Aku mulai panik sendiri sampai menyenggol tas di tepi meja, tas itu jatuh hingga membuat isinya berhamburan kemana-mana. Kupijat pelipis yang makin menyiksa. Saat itu Rehan masuk ke kamar setelah selesai memanggang roti untuk sarapan kami.
"Sudah sana kamu ganti baju, biar aku yang beresin ini, Nes. Kamu nanti terlambat." Rehan yang cekatan langsung berjongkok di dekatku. Ia menatapku lebih lembut dan sabar. "Sudah, sudah...," ia menenangkan saat kepanikan masih menyerangku. Kutatap diriku di cermin, masih memakai handuk setelah keluar dari kamar mandi.
"Makasih, Sayang." Sahutku pelan, lalu aku berlari mencari kemeja dan celana kerjaku, mengabaikan denyutan di kepala. Setelah memakai baju kantor, aku kembali duduk di depan meja rias, menyisir rambut seadanya, memakai pelembap wajah, lipstick, dan ini-itu sampai Rehan berdiri di dekatku lagi. Ia membawa segelas susu almond.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Dari Apapun
Chick-LitKehidupan tak semulus selembar kertas putih, karena pada akhirnya banyak coretan tinta berbagai warna di atasnya. Itulah kehidupan yang aku jalani. Aku mencintai kekasihku, Ian. Sayangnya, jarak membentang terlalu jauh. Hari-hariku malah terjebak be...