Cinta tak perlu ditanya kapan datangnya, biar dia yang memutuskan kapan muncul ke permukaan. Cukuplah kamu bersiap-siap, menyambutnya dengan hangat.
Kasih aku "love" dong....
Memasuki bulan Maret.
Rehan menghampiriku tepat setelah aku selesai mandi dan ganti baju. "Mama minta kita ke rumah, Yang."
"Kapan?" tanyaku sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
"Sekarang," kata Rehan lembut. "Sekalian bawa baju ganti, takut nggak boleh balik." Rehan mengedipkan mata sekali, tersenyum penuh maksud.
Aku mencubit perutnya, "Nakal ya!"
Dia tertawa lepas. Aku ikut tertawa bersamanya hingga tak bisa berhenti, kupegangi perutku. Calon bayi, apa dia ikut merasakan kebahagiaan kecil ibu dan ayahnya?
"Sudah, sudah. Aku takut kamu kenapa-napa," ujar Rehan khawatir, dia menenangkanku. Lalu menyentuh perutku yang maju beberapa senti.
Aku tersenyum, mengangguk. "Kamu sih, suka banget godain aku."
"Yah ... aku godain siapa lagi, Sayang?" Rehan mengecup keningku lembut, "mau ya nginap di rumah Mama?"
"Iya, Mas." Aku kembali duduk di sofa. Kuraih ponsel di atas meja, mengecek pesan yang berdatangan. Noya tiba-tiba cerita kalau dia sedang ke Bali dengan Feri, aku jadi iri, tapi kondisi sedang tidak disarankan bepergian jauh.
Aku menoleh ke samping, Rehan pergi ke pantry, entah mau apa lagi seharian ini. Sejak pagi sibuk membuat makanan untuk kami berdua. Bereksperimen di dapur penuh suka cita. Semua makanan kami makan dan habis. Aku kenyang, dia juga sama kenyangnya.
Mendadak aku ingin mengecek e-mail masuk dari akun pribadi, bukan akun kantor yang isinya hanya kerjaan dan penawaran kredit serta asuransi ini itu. Sepertinya dua hari lalu ada pesan masuk dari Ian, memang sengaja belum aku buka karena baru mengumpulkan keberanian untuk membaca pesan yang biasanya panjang itu.
Rehan belum tahu kalau Ian mengirin pesan lagi padaku, untuk kali pertama setelah aku menjadi istri sahabatnya. Ya, untuk kali pertama.
Aku menenangkan diri, menarik napas dalam dan tenang. Khusyuk kubaca pesan panjang dari Ian, entah berapa menit kemudian sampai aku merasa pipiku basah. Aku menangis membaca cerita panjang yang ia bagi denganku. Seperti biasa, Ian menceritakan keadaan di sana. Pilu. Sedih. Tentang anak-anak kecil yang harus menjadi yatim piatu. Para janda muda, gadis kehilangan cita-citanya, masa depannya, kehilangan keluarga. Tercerai berai karena keadaan, konflik yang belum juga usai. Merana rasanya, mereka tidak bisa hidup sebebas aku di sini, tidak tenang, tidak bisa menikmati liburan dan senang-senang selalu, tidak bisa memilih makanan yang ingin mereka makan. Tetiba aku merasa buruk, bersalah, tidak pandai menjadi orang yang bersyukur. Malu pada mereka yang masih punya rasa syukur di bawah reruntuhan dan puing-puing bagunan kotanya.
Aku selesai membaca berkisah-kisah yang Ian tuliskan. Tidak ingin membalas, sibuk merenung sambil memejamkan mata. Hidup mereka semua jauh lebih berat daripada aku yang pernah Ian tinggalkan. Tidak sebanding rasanya. Ian pun ikut berjuang di sana. Tidak tahu apakan dia akan selalu dalam keadaan baik-baik saja atau suatu saat nanti akan menyusul beberapa saudaranya di sana. Syahid. Tidak ada yang tahu kecuali Tuhan.
Aku titip Ian, aku titipkan dia pada-Mu, Tuhan.
Tiba-tiba ada tangan hangat yang mengusap pipiku lembut, bahkan aku tak sadar kalau air mata keluar begitu deras. Hatiku masih pedih. Lebih pedih dari apapun yang pernah aku rasakan, tak sebanding dengan sakit hatiku yang lalu. Tidak ada apa-apanya, sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Dari Apapun
Literatura FemininaKehidupan tak semulus selembar kertas putih, karena pada akhirnya banyak coretan tinta berbagai warna di atasnya. Itulah kehidupan yang aku jalani. Aku mencintai kekasihku, Ian. Sayangnya, jarak membentang terlalu jauh. Hari-hariku malah terjebak be...