[11] Tersentuh

320 61 0
                                    


"Allah mempertemukan kita dengan seseorang yang kita butuhkan, bukan dengan yang kita inginkan. Itulah takdir terbaik."



###


"Donasi ke Suriah dan Palestina, Han? Sejak kapan?" Aku mengambil duduk di sebelah Rehan yang sedang santai di sofa tengah. Barusan aku membereskan pantry dan memaksa Rehan pergi ke sini. Tamu tak harus repot mencuci dan mengepel lantai dapur. Ketika aku lewat dari arah belakang, aku melihat Rehan membuka-buka situs donasi untuk dua negara tersebut. Aku tahu dan kenal yayasan sosialnya, sebab aku juga bolak-balik di website dan akun Instagram yang sama.

Ekspresi Rehan kaget sekali, dia seperti tertangkap basah saat mendengarku bertanya seperti barusan. Informasi pribadinya telah kuketahui dan mulutku ... aku langsung menutupnya. Jangan bilang dia juga ikut berdonasi. Tidak mungkin cuma lihat iklan berjalannya saja, kan?

"Bukan sih," jawabnya kaku. Ia terlihat aneh. Buru-buru mengantongi ponselnya.

Aku baru sekali berdonasi waktu itu, dan aku menduga bahwa Rehan sudah lebih lama melakukan itu.

"Sejak kapan?" Aku langsung menodongnya, duduk miring menghadapnya.

"Ehm..." Ia terlihat ragu. Kenapa, tidak percaya padaku?

"Jujur aja sih." Aku menatapnya dengan sabar.

Rehan menarik punggung dari sandaran, duduk tegap dan tenang. Menatap ke depan, lurus. Dari sana dia mulai bercerita, sesuatu yang tidak pernah aku ketahui sebelumnya. "Waktu kuliah ada penggalangan dana, lalu aku dan Ian ikut acara itu, Nes." Dia menatapku sebentar sebelum beralih ke hal lain. "Mendengar pemberitaan begitu gencar, ada banyak korban dari agresi Israel ke Jalur Gaza yang kebanyakan warga sipil, membuat hatiku dan Ian tergerak untuk bergabung menjadi relawan junior di Bandung. Kebetulan waktu itu mereka mengadakan penggalangan dana namanya 'Food for Gaza'."

Rehan tersenyum tipis sekali, bukan senyum bahagia tetapi sedih. Aku pun turut merasakan hal serupa. Iba.

"Dia lebih terpanggil karena tidak menyelesaikan spesialisnya lagi dan memilih mengikuti latihan relawan selama beberapa minggu sebelum diberangkatkan ke Palestina. Aku mundur karena harus menyelesaikan program belajarku. Orang tuaku juga tidak setuju aku berangkat ke negeri sejauh itu, Nes. Mama yang paling sedih."

Aku masih menatap Ian lekat. Diriku sepenuhnya hadir di sini, mendengarnya.

"Sungguh suatu pengalaman yang luar biasa waktu itu. Ternyata menjadi seorang relawan tidak semudah yang aku bayangkan. Butuh yang namanya kesabaran dan ketabahan. Itu yang harus dimiliki oleh para relawan, tetapi ada kebahagiaan sendiri dalam hatiku karena pernah ikut penggalangan dana waktu itu. Terjun langsung ke jalan, meminta bantuan, mendapat berbagai tatapan di luar perkiraan." Rehan tersenyum sekilas sebelum melanjutkan. "Ian selalu memberi semangat kepadaku, Nes. Katanya, 'semua yang kita lakukan harus kita niatkan karena Allah'. Dia benar-benar berani ya, Nes? Hatinya pun luar biasa."

Aku mengangguk sekaligus menangis. Air mata menetes satu persatu. Teringat saat Ian menyatakan keinginannya untuk pergi ke belahan bumi lain, penuh air mata haru dan kesedihan. Namun, aku juga bangga padanya. Dia hebat. Hatinya tulus. Lagi-lagi suara hatiku berkata, aku tak sanggup bila harus kehilangan dia. Aku memang egois!

"Dia diizinkan keluarganya pergi ke sana setelah banyak perdebatan. Ke keluarganya saat itu, dia menyampaikan tentang tolong-menolong sesama Muslim. Aku mengantarnya meminta izin. Dia bilang ke ibunya, 'karena Muslim ibarat satu tubuh. Jika kita tidak peduli dengan nasib muslimin di belahan bumi lain, maka bukan termasuk golongan yang dipimpin Nabi'. Akhirnya ibu dan keluarganya mengizinkan, walau dengan berat hati, Nes."

Kupalingkan wajah ke sisi lain, mengusap air mata yang tiba-tiba membasahi wajahku. Rehan mengambilkan tisu untukku. Aku membuang ingus di depannya, mengusap air mata dengan bersih. "Aku nggak tahu soal itu. Kupikir sejak awal jalannya memang mulus. Orang tuanya setuju-setuju saja, ternyata tidak ya?" Aku merasa lucu, tidak tahu perihal ini. Ian tidak pernah bercerita dan aku pun tidak pernah menduga kalau keluarganya sempat menolak permintaannya.

"Dia nggak pernah cerita karena itu sudah berlalu dan nggak ingin buat kamu khawatir. Dia akan selalu baik-baik saja, Nes. InsyaAllah." Rehan terlihat yakin. Kata-tanyanya barusan membuat aku beranjak dari mimpi Mama soal hubunganku yang aneh ini. Bersama atau tidaknya aku dengan Ian, itu kehendak Allah sepenuhnya, aku hanya bisa memohon dan mengusahakan sampai batas tertentu.

"Kamu nggak apa-apa?"

Aku mengangguk sekali, membuang ingus lagi. "Sori."

Rehan memberikan tisu lagi, "Aku yang minta maaf, nggak maksud buat kamu nangis gini." Hampir saja Rehan menepuk punggungku, lalu kemudian dia menarik tangannya lagi. Ia beranjak ke belakang, mengambilkan minum untukku. Selama ini pertemanan kami minim kontak fisik. Dia teman yang baik. Pemuda yang sopan. Ya, aku kepikiran soal Zahra lagi. Mereka pasti cocok, kan?

Rehan kembali duduk dan aku menghabiskan minumku, meletakkan gelas di atas meja. "Jadi, gimana soal sahabatku, Zahra? Fotonya sudah pernah lihat 'kan di profil WA-ku waktu dulu?"

Rehan menggeleng pelan. "Makasih buat niat baikmu. Tapi ... kurasa belum."

"Kenapa?" Aku bertanya peduli.

"Tidak apa-apa."

"Han..."

"Iya, Nes." Rehan memotong ucapanku dengan nada lembut. "Makasih, tapi kamu nggak perlu kayak gini. Oke?"

"Baik." Aku menyandarkan tubuh ke sofa, tatapanku kosong.

"Kamu melamun?" tanya Rehan seraya menoleh.

Aku balik menatapnya kosong. Menghela napas agak berat. "Nggak pa-pa. Oh ya, maaf sudah terlalu jauh mencampuri urusan asmaramu ya?" Aku merasa tidak enak soal tadi. Belum tentu juga Zahra mau dijodoh-jodohkan, dia juga agak keras kepala orangnya.

Rehan tersenyum tipis, "mungkin kamu terlalu peduli sama aku. Makasih."

"Hah? Bukannya kebalik ya?" kataku sambil mengernyitkan kening. "Kamu deh yang kayaknya terlalu peduli sama manusia kurang gizi ini sampai masak segala di sini. Iya, kan?" todongku sambil cekikikan.

"Bisa jadi!" balasnya spontan.

Aku dan Rehan tertawa renyah bersama. Tak lama kemudian Rehan beranjak dari sofa, ia pamit dan meninggalkan aku sendiri dengan kesepian ini.

"Makasih sudah datang, aku enggak kesepian banget hari ini," ucapku saat mengantarnya sampai pintu apartemen.

"Itu gunanya teman. Kalau teman-temanmu yang lain pada sibuk dengan urusan mereka, aku yang bakal nemenin kamu. Jangan khawatir, Nes." Setelah itu Rehan membalik badan dan berjalan menuju lift.



###

Aku tahu ini kurang banyak buat dibaca

tapi semoga bisa mengurangi rasa rindu kalian sama Rehan - Ian - Kanes ya!

makasih buat dukungannya, aku benar-benar seneng tiap lihat notif masuk :D

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang