Pembacaku dari mana aja ya? Mau tahu dong!
Makasih sudah jawab, semoga harinya menyenangkan :)
Bab 19
Ternyata ada banyak hal yang harus kuurus sebelum ingar bingar pernikahan terjadi. Tidak sesederhana seperti yang kubayangkan. Desain undangan nikah ada kesalahan di peta lokasinya, Papa minta dikoreksi, edit dan cetak ulang satu sample. Urusan souvenir hampir final, catering dan baju pun Mama sampai bolak-balik tanya ke aku, menelepon saat jam makan siang dan jam pulang kantor.
Lelah.
Urusan pernikahan tidak semudah yang aku pikirkan. Semua harus diurus jauh-jauh hari. Persiapan harus diurus dengan matang. Jangan salahkan aku kalau akhir-akhir ini mood-ku super berantakan. Kelelahan ini memengaruhi perasaanku, belum lagi Ian yang mendadak susah dihubungi. E-mail dua hari lalu belum ia balas, aku tahu urusan sinyal di sana susah sekali, seolah fasilitasnya tidak memadai. Meski ia sudah menyerahkan semua keputusan di tanganku, tetap saja aku butuh diskusi. Ini pernikahan kami berdua, bukan hanya aku dan keluargaku saja.
Rabu sore, aku sudah sampai apartemen karena sakit mendadak dan memutuskan untuk pulang lebih cepat. Kepalaku berdenyut kencang sejak jam makan siang, rasanya sudah mau pingsan. Tapi, tetap saja aku nekat menyetir mobil sendiri dan terima kasih Ya Tuhan, Engkau baik sekali karena mengantarku sampai di sofa ini. Sebelum memejamkan mata aku ingat satu hal, jadwal periksa giginya Dewa harus kukirim ke Mbak Anah. Siang tadi Rehan mengirim pesan padaku, belum sempat aku balas.
Kamis pagi, saat bangun tidur kepalaku rasanya semakin pusing. Aku bahkan memuntahkan air yang baru masuk setengah jam lalu ke dalam lambung. Rasanya pahit, asam dan entahlah. Hari ini aku tidak mungkin masuk kerja. Aku meraba laci, mencari obat mag dan minyak kayu putih, mengoleskannya ke sebagian leher dan perut. Meringkuk di atas tempat tidur sendirian. Sepi dan menangis karena menyesali sesuatu yang tak seharusnya aku sesali. Merantau seorang diri, bukankah ini keputusanku? Memaksa diri pergi dari kampung halaman untuk menimba ilmu, bekerja, sampai mencari pengalaman? Lalu kenapa kalau sakit seperti ini aku jadi menyesal. Teringat Mama, Papa dan Zaky. Teringat semua hal yang pernah Mama lakukan saat aku sakit di rumah dulu. Perhatian-perhatian mereka yang aku butuhkan detik ini juga. Oh Tuhan ... mataku mulai basah. Aku tersedu sendirian.
Entah pukul berapa, perutku yang kosong mulai minta diisi. Lapar sekali rasanya. Aku bangun dari tempat tidur dan baru mendudukkan diri saja kepalaku sudah berat. Ingin lebih lama rebahan, tapi lambung sudah menjerit minta diisi sesuatu. Tepat saat aku sudah bisa berdiri, ponsel di atas nakas menyala. Ada panggilan. Kulirik layar itu, sayangnya tulisan di layar seperti berputar-putar. Tidak jelas nama pemanggilnya, aku buru-buru mengangkat.
"Aku di bawah, Nes."
"Eh ... kok ... bi-sa?" tanyaku kebingungan, sambil menekan-nekan tengkuk. Aku menatap diriku di depan cermin rias, lebih berantakan dari saat bangun tidur waktu sehat.
"Akses, Nes. Sekarang ya." Bukannya menjawab, seseorang di sana malah meminta sesuatu.
"Ya." Kuletakkan ponsel di atas nakas setelah panggilan terputus. Kembali menatap pantulan diri, merapikan rambut seadanya, mengusap wajah dan tersenyum sedih.
Haruskah dia melihatku dalam kondisi super berantakan seperti ini? Aku saja malas melihat wajahku sendiri.
Pintu apartemen sudah terbuka dan seketika aku diserang tatapan mencurigakan dari Rehan. Dia melihatku dari ujung kaki sampai kepala. Terpaku menatap wajahku yang sepertinya pucat, lebih pucat dari hantu manapun di film horror yang pernah dia saksikan, mungkin. Dia menerobos masuk dan menutup pintu, pergi ke pantry tanpa izin. Sementara itu kepalaku makin berat, aku duduk di sofa dan bersandar dengan nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Dari Apapun
Chick-LitKehidupan tak semulus selembar kertas putih, karena pada akhirnya banyak coretan tinta berbagai warna di atasnya. Itulah kehidupan yang aku jalani. Aku mencintai kekasihku, Ian. Sayangnya, jarak membentang terlalu jauh. Hari-hariku malah terjebak be...