[24] Alasan Itu

403 62 16
                                    

Buat yang sudah baca bab ini di Karyakarsa, selamat membaca kembali :D
Kalau enggak bosan hehehe



Yuk Vote dulu!




Bab 24



Sudah lama aku menghindari semua orang, rasanya sudah cukup untuk memeluk luka itu sendiri. Kini, saatnya aku keluar dari rasa sakit yang tak bisa kubuang begitu saja. Kini, saatnya aku bangkit walau tidak semudah itu.

Benar.

Tidak pernah mudah untuk melupakan apa yang sudah terjadi.

Tidak pernah mudah untuk bangkit dari rasa sakit.

Tidak ada yang mudah kulalui setelah apa yang baru saja terjadi.

Tetapi, aku harus melangkah agar tidak terpenjara dalam kesedihan, kehancuran, dan luka.

Hari ini, ada satu orang yang ingin aku temui. Orang yang sepertinya tahu segalanya.

Rehan.

Aku tahu Rehan sedang di klinik, aku pun sengaja menemuinya setelah pulang dari kantor. Aku masuk setengah hari karena kepalaku sudah tak sanggup lagi diajak memikirkan pekerjaan, tidak bisa berkonsentrasi dan terus memikirkan hal di luar tugasku.

Lima belas menit aku menunggu Rehan di kursi panjang depan ruangannya. Perawat bilang dia masih ada pasien. Aku menunggu dengan perasaan sesak yang ingin meledak. Aku pergi sebentar ke kamar mandi, membasuh wajah, ke kantin untuk membeli minuman dingin, meredakan emosi yang tiba-tiba menggelayuti diri. Lalu kembali duduk di depan ruangan Rehan tanpa melongok ke dalam ruangan. Rasanya sepi, tak ada manusia sama sekali selain diriku.

Dari ujung koridor terdengar suara sepatu yang kian dekat dan kencang. "Kanes?"

Aku mendongak, botol di tangan terlepas begitu saja. Kaget. "Han?"

Rehan menunduk, mengambil botolku dan memegangnya. "Ayo, masuk." Dia membuka pintu ruangannya. Entah aku menghabiskan berapa detik untuk mematung, menatap Rehan dengan perasaan campur aduk.

Kenapa aku pun harus marah padanya? Kenapa aku datang kemari dengan niat buruk ini? Setan apa yang telah merasukiku hingga ingin rasanya melampiaskan kekesalan pada seorang Rehan?

"Masuk, Nes," ajaknya lagi. "Aku perlu bicara sama kamu. Aku datang ke apartemenmu, tapi kamu enggak pernah ada."

Iya. Aku tahu kamu datang hampir setiap hari. Kamu datang dan menitipkan makanan pada sekuriti, tetapi aku tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Aku juga sengaja mengabaikan pesan-pesanmu, menolak semua panggilanmu dan sahabat-sahabatku. Aku lelah mendengar pertanyaan yang sama setiap hari. Aku benar-benar muak!

Lelah dengan semua ini.

Muak dengan janji Adrian.

Aku masih menahan diri untuk tidak meledak. Berdiri di depan meja Rehan. Menatap wajahnya yang terlihat separuh lelah dan cemas. Ini kali pertama aku bertemu dengannya setelah kejadian itu. Aku tidak pernah menerimanya di apartemen meski dia datang berkali-kali.

Rehan yang tidak pernah menyerah.

"Baru balik atau kamu nggak masuk kantor?" Rehan melepas jas putihnya, menyampirkan di sandaran kursi. "Duduk, Nes. Kok masih berdiri? Kita perlu bicara."

"Nggak perlu." Suaraku terdengar ketus. "Aku izin hari ini," ucapku menjawab pertanyaan sebelumnya.

Rehan mengerutkan alis, dia juga masih berdiri. "Aku senang akhirnya kamu datang ke sini, aku khawatir karena kamu nggak pernah ngizinin aku nemuin kamu di apartemen, Nes. Sampai kapan kamu mau menghindar? Teman-temanmu juga sangat khawatir."

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang