[15] Planning

325 55 3
                                    


Ada berita penting!

Belum lama ini, teman sesama penulis cerita kalau novelnya yang sudah diterbitkan telah diplagiat oleh penulis dari GN. Setelah ditindaklanjuti, akhirnya mengaku dan tulisannya itu di take down oleh pihak GN.

Bagi pembaca karya-karyaku, jika menemukan salah satu ceritaku ada pada cerita orang lain, tolong bantu untuk melaporkannya ya. Karena ini adalah karya yang dikerjakan penuh dengan perjuangan, menguras waktu, tenaga, juga pikiran. Ada yang selesai dalam hitungan minggu, bulan, bahkan tahun. Kami semua, para penulis, benar-benar berjuang untuk membuat karya.

Aku menyayangkan mereka yang dengan mudahnya memplagiat karya orang lain. Karena terinspirasi dengan plagiat itu beda jauh. Kita harus tahu di mana letak perbedaannya, tidak boleh asal dan sembarangan.

Tolong, bantu dan tetap hargai karya penulis asli. Hargai keorisinalitasannya. Dan gara-gara kejadian seperti ini berulang kali terjadi, aku sempat kepikiran untuk memindahkan tulisanku ke platform berbayar (meskipun kayaknya kalian bakal kecewa). Jujur, aku sedih banget karena karya kami di sini tidak aman.

Terima kasih untuk kerja sama teman-teman semua.

Tetap sehat dan bahagia selalu.




BAB 15

Rencana paling indah adalah rencaha hidup bersama kamu.



Dua pemuda itu tadinya terlihat sedang serius mengobrol, tapi ketika aku sampai dan duduk di antara mereka obrolan pun terhenti seketika. Ian menatapku lurus, aku balik menatapnya. "Kenapa, Yan?"

"Kamu pucat."

"Eh, kecapekan aja. Biasalah habis nguli cucian dua bak." Aku tertawa sendiri setelah menjawab secara asal. Ian benar, aku memang kurang enak badan hari ini. Namun, aku tidak mau menganggapnya serius, paling hanya kecapekan seperti biasa.

Dua orang di depanku saling berpandangan dalam hening. Sepertinya barusan aku gagal melucu. "Kalian sudah pesan makan?" kualihkan topik sebelum salah satu dari mereka menginterogasiku lagi.

"Belum, nunggu kamu," jawab Ian peduli.

"Oh ... nih, aku sudah datang!" Aku nyengir pada keduanya, bergantian.

Rehan ikut menyengir. "Pasti lapar ya, habis nyuci dua bak," ledeknya.

Ian tertawa pelan, "Lo percaya, Han?"

Akhirnya, kami pun tertawa bersamaan. Aku memang tak sungguh-sungguh menjawab pertanyaan Ian. Hal yang paling membuatku pusing akhir-akhir ini adalah masalah target kantor yang belum tercapai, penjualan rumah menurun, saldo kas dan bank selisih, dan banyak lagi. Namun, aku tidak ingin mengeluhkan pekerjaanku pada Ian atau Rehan. Pasti mereka juga sama pusingnya dengan sesuatu yang mungkin tidak aku ketahui.

"Sudah, ah, aku lapar!" Aku menatap Rehan yang mengusap tengkuknya. "Kalian tadi ngomongin apa?"

"Kapan?" tanya Rehan tak mengerti.

"Sebelum aku datang, aku lihat kalian ngobrol seru!" tuduhku.

"Oh, itu bukan masalah besar." Ian menjawabnya dengan cepat, membuat aku menoleh padanya.

"Apa sih? Bukan soal aku, kan?"

Ian mengernyit, sementara kulihat Rehan geleng-geleng kepala. "Katanya lapar?" tanya Rehan yang berhasil mengalihkan topik percakapan.

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang