[7] Masih Menunggu

337 50 6
                                    

Selamat membaca
Ngabuburit bareng Kanes dulu ya

Kasih aku jempol banyak-banyak

🤍🤍🤍



Hariku mendung, suasana hatiku tak baik, uring-uringan dan tak tenang. Dua pekan berlalu, belum ada balasan dari Ian tentang e-mailku. Ia seperti menghilang tanpa jejak. Lagi. Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah lelah bersimpuh di depan Allah saat matahari beranjak naik. Subuhku tepat waktu tapi aku belum melepas mukenaku sampai kaki rasanya kesemutan.

Barulah aku bangkit saat ponselku berdering. Ini hari Sabtu, tak seharusnya seseorang menggangguku.

Kuangkat telepon dengan malas, tidak melihat siapa nama pemanggilnya. Berharap bukan orang dari kantor dan mengingatkan soal pekerjaan. Aku sedang malas berpikir urusan kantor di weekend sedih seperti ini.

"Nes!" Suara cempreng itu menyambut. Aku sampai mengernyitkan kening, menjauhkan ponsel dari telinga sebentar. "Nyai bilang lo harus balik bulan depan! Ikut acara lamaran gue!" bebernya.

Kan, sudah kubilang, dunia cepat sekali berlalu. Dunia seolah berlari dan tidak peduli ada hati manusia yang sedang layu dan kacau bergini. Walau demikian, aku ikut senang dengan berita dari Noya ini.

"InsyaAllah," jawabku lemah. Tak bertenaga.

"Tiketnya sudah gue pesenin lho, tengah bulan dan lo harus cuti sehari di hari Jumat ya?"

"Oke. Gue bawa apa aja?" tanyaku sambil melipat mukena yang sudah terlepas.

"Bawa diri saja dan jangan sampai lo batal pulang!" titah Noya seperti tak mau dibantah. Ciri khas anak pertama di keluarga besarku, keras kepala dan sedikit mengatur.

"Siap. Sudah?"

"Iya," Noya tertawa bahagia.

Aku ikut tersenyum walau wajahku teramat buruk dan sendu. Ah, Noya tidak melihatku ini, pikirku.

"Ya sudah, selamat jalan berdua sama dokter Rehan! Assalamualaikum!"

"Eh—."

Sambungan sudah terputus sebelum aku mengoreksi kata-kata Noya. Aku tidak membuat janji apapun dengan Rehan pekan ini. Dia salah sangka.



***



Tanpa disangka, siang itu Rehan datang menemuiku—si gadis nelangsa dan menyedihkan—di apartemen, tidak ada pesan apa pun sebelumnya. Bikin kaget. Saat membuka pintu apartemen, aku melihat dia membawa paper bag yang saat kulihat berisi banyak tempat makan.

"Apa?" tanyaku sambil menggiringnya masuk ke ruang tengah, tapi Rehan justru berjalan ke pantry.

"Mamaku masak banyak. Ada acara syukuran untuk anaknya Kak Ghaida," jelasnya dengan wajah super semringah. "Kamu tahu, Nes, keponakanku sudah banyak tingkah sekarang. Suka ngoceh ini dan itu. Cerewet dan berisik kayak Kak Ghaida banget!" paparnya lagi dengan wajah penuh semangat.

Dari ruang tengah aku berjalan sambil tertawa-tawa. "Oh, jadi Kak Ghaida bawel ya? Kalau ketemu orangnya aku bisa aduin ke dia," ledekku.

"Sayangnya kamu nggak perlu ketemu dia."

"Eh, kenapa?"

Rehan melirikku sebentar, wajahku masih seberantakan pagi tadi meski sudah kubasuh seluruh badan ini. Masih kusut dan menyedihkan!

"Karena dia akan mikir macam-macam kalau aku sampai ngenalin perempuan."

Aku mengangguk paham dan tidak bertanya apa-apa lagi. Selama berteman dengan Rehan, aku memang tidak pernah diajak ke rumahnya, berbeda dengan Ian yang jelas-jelas kekasihku sendiri. Saat Mama Ian berkunjung ke Bandung di awal kami pacaran, aku sudah dikenalkan pada mamanya yang baik itu, juga pada adik perempuannya yang sangat cantik.

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang