[14] Bertemu Kamu (Lagi)

342 57 5
                                    


Aku hanya takut yang saat ini bersamaku ternyata bukan jodohku.




Lagi pengin update banget!

Seneng ya kalian?

Ini rezekiii, mana jumkatnya 2.000 lebih lagi. Rezeki nomplok, kan?

Please, jangan lupa buat vote dan komen bab ini yawww!

Thanks.



Part 14


Adrian Singgih Saputra, aku tersenyum mengingat namanya.

Ada kabar baik yang sejak beberapa hari lalu membuat dadaku berdebar dan tak sabar! Hari ini, Ian kembali menginjakkan kaki di Jakarta lagi. Ia pulang dijemput adiknya di bandara. Sementara aku masih bekerja sampai sekarang, pukul sembilan malam.

Sungguh, aku sudah tidak tahan dengan laporan quarter dua ini. Kacau dan berantakan! Banyak kesalahan dalam penginputan dan beberapa data masuk ke akun yang tidak seharusnya. Ini semua harus diulang, cek dari awal, saldo selisih, dan lain-lain. Boleh aku mengeluh? Sudah aku lakukan, bahkan aku meminta ana-anak akunting junior lainnya menemaniku lembur. Ini kerja tim, kan?

Kutarik napas dalam-dalam, membuangnya kasar. Sudah tidak sabar. Aku kangen Ian. Rindu sangat dan ingin segera menatap wajahnya tanpa sekat, tanpa jarak sejauh ribuan mil. Tanpa gangguan jaringan internet putus-putus atau sebatas tulisan di badan e-mail.

"Sudah semuanya? Beres?" Aku berdiri di mejaku sambil menatap meja depan, dua anak akunting mengangguk bersamaan setelah menatapku dan layar monitor bergantian. Meski ragu aku putuskan untuk melanjutkan besok saja, hari ini tenagaku pun sudah terkuras karena menahan kesal dan marah-marah. "Lain kali kalau lagi input data jangan banyak mengobrol ya," kataku sambil membereskan meja. Mengecek ponsel dan terdapat dua pesan dari nomor Ian yang baru.

"Iya, Kak." Kompak dua anak itu menjawab.

"Ya sudah, lanjut besok saja. Aku juga sudah lelah."

"Iya, Kak." Yang satu menjawab, satu lagi mematung berdiri dan menatapku.

"Kenapa?"

"Saldo bank banyak yang selisih jumlahnya, rekening belum update," adunya.

"Lanjut besok saja, kepalaku sudah mau meledak!" Aku mengibaskan tangan. Rencana pulang cepat telah gagal! Rencana menjemput Ian di bandara apa lagi, sudah gagal sejak pukul enam sore tepat saat adzan Magrib berkumandang dan aku terjebak di perusahaan properti ini.

"Besok suruh kurir ke bank-bank dan minta rekening bulan kemarin. Harus cepat dapat!" Aku memerintah. Bekerja dengan anak yang baru mencoba peruntungan di dunia kerja agak susah dan harus ekstra sabar. Aku tahu mereka juga kesulitan, aku pernah di posisi mereka. Namun, kali ini aku sedang tidak ingin beramah-tamah.

"Baik, Kak."

Aku menarik tas di atas meja lalu pergi. Di dalam lift aku membaca pesan dari Ian. Mataku berkaca-kaca.

Sudah selesai belum, Sayang?

Aku jemput kamu ya?

Dua pesan itu dikirim satu jam lalu. Tidak aku balas keduanya, aku langsung menelepon nomor Ian.

"Halo, Sayang? Kamu di mana? Aku ...."

Dengan konyolnya aku malah terisak di dalam lift yang untungnya sepi. Memandang diri di cermin sebelah kanan. Buruk. Berantakan.

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang