Happy reading 📚
Jangan lupa votenya ya kakaks♡♡♡
Sudah sebulan, email terakhir yang aku kirim belum berbalas. Bukankah sudah biasa, selama ini juga begitu. Tapi, aku merasa kali ini ada yang tidak beres. Ada yang salah. Pasti ada sesuatu yang terjadi di sana.
Kupantau berita Palestina lagi, tidak bosan dan tidak ada habis-habisnya. Sampai kadang menitikkan air mata sendiri saking sedihnya melihat penderitaan anak-anak di bawah usia dua belas tahun, mereka sudah harus menjadi yatim piatu. Lalu berita mengenai para perempuan muda yang ditinggal suaminya pergi untuk berjuang melawan tentara kejam. Bahkan, Ya Tuhanku, Yang Maha Penyayang ... ada juga pasangan pengantin yang akan menikah tetapi calon pasangannya meninggal karena sebuah serangan. Gedung-gedung itu runtuh lagi, sang gadis tak pernah bisa hidup bersama laki-laki yang dicintainya walau sesaat.
Aku merasa lelah melihat berita yang sepertinya tidak pernah baik-baik saja, apalagi mereka yang mengalami semua penderitaan ini? Selelah apa fisik dan hati mereka?
Sungguh, pasukan yang bersikap brutal itu sangat tega dan kejam! Di mana perasaan mereka? Bukankah kita semua sama? Sama-sama manusia yang butuh hidup tenang?
Kali ini berita tentang calon pengantin yang terpisah karena kematian dan rudal begitu mengiris perasaanku. Meski sudah tahu berita itu sejak pagi buta, tetapi di siang hari pun aku masih mencari potongan ceritanya.
AllahuAkbar. Allah Maha Besar. Hatiku menjerit, tersayat pilu. Nyeri ini menjalar ke seluruh jiwaku, rasanya ikut sesak. Tangis calon pengantin perempuan seperti menggema di telingaku, benar-benar nyata.
Aku masih menatap komputerku dengan ratapan kepedihan, merasa sangat miris. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku pelan. "Yah, Nes ..., apa yang lo harapkan dari seseorang yang nggak memberi kepastian sih?"
Jantungku berpacu tidak terkendali. Aku berusaha tenang dan sabar. Menyusun kalimat balasan yang lebih elegan. Jangan marah atas situasi yang tidak mengenakan ini, Kanes. Kamu sudah bisa melaluinya sampai detik ini. Bertahan sebentar lagi sampai dia benar-benar kembali.
Dan aku yakin bahwa dia akan segera kembali.
"Mbak Hana, mungkin dia sibuk saja dan belum sempat buka HP atau komputer. Mungkin internet di sana memang lagi offline," kataku sambil mengalihkan perhatian ke Mbak Hana yang masih berdiri di sampingku. Tetap berpikir baik saja. Teringat lagi kata-kata Rehan, aku tidak boleh berasumsi terlalu jauh—yang di luar kendaliku.
"Internetnya meledak karena bom?" gurauan yang jahat. Tapi tidak menutup kemungkinan juga.
Aku diam, tidak memberi respons. Resah tak berkesudahan.
"Lihat saja diberita, kalau bangunannya saja porak poranda seperti itu, apa masih ada jaringan yang bagus? Kayaknya pacar kamu cuma mikir dua hal, antara hidup dan mati deh."
Hatiku terasa tertusuk pisau tajam. Tertikam. Menyakitkan.
"Maaf, aku ngomong jahat begini. Aku hanya pengin kamu nggak terlalu banyak berharap sama pacarmu yang nggak balik-balik sampai sekarang, Nes. Hidup kan maju, kamu punya kehidupan sendiri di sini, jangan banyak mikirin yang jauh." Mbak Hana kembali ke kursinya yang tak jauh dariku.
Benar juga. Ian mungkin tidak terpikir untuk membahas persoalan menikah di saat sedang ada tugas seberat itu. Lagi-lagi aku yang harus mengalah dan memahami situasi ini. Sejak kapan aku menjadi serealistis ini? Hati kecilku memberontak, ingin rasanya berharap pada Allah bahwa masih selalu ada mimpi yang bisa dibangun di atas reruntuhan puing-puing bangunan yang sedang kutatap saat ini.
Ian pasti datang. Bukankah dia merindukan aku?
Aku bersyukur karena waktu berjalan dengan cepat, sehingga aku bisa segera sampai di apartemen dan sejenak bersembunyi dari urusan dunia yang kompleks. Aku juga bisa melupakan kata-kata Mbak Hana yang sedikit pahit, rasanya seperti tamparan keras untukku.
Sebelum tidur aku mengecek e-mail melalui ponselku. Terkejut. Ya Allah, sejak kapan ada satu pesan masuk dari Ian? Aku membelalakkan mata, kaget karena tidak mendengar notifikasi apa pun dari ponselku sendiri. Pesan dari dia segera kubuka dengan hati penuh harap dan rasa senang.
Assalamualaikum, Kanes J
Maaf baru sempat membalas pesanmu. Akhir-akhir ini rumah sakit sangat sibuk dan aku ikut kunjungan ke tempat lain, juga ke tenda-tenda pengungsian. Terjun ke lapangan dan banyak hal yang terjadi beberapa minggu ini. Aku harap kamu selalu mengerti dan sabar denganku ya, Nes.
Aku tersenyum membacanya. Ian berubah, dia benar-benar lelaki dewasa sekarang dan bahasanya lebih serius. Benar, lingkungan di sana telah melatihnya menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Aku sangat bersyukur pada Tuhan. Aku lanjut ke kalimat berikutnya, dadaku mulai naik-turun dengan napas memburu.
Kaneshia, sebelum kamu bertanya padaku tentang hubungan kita, aku sudah lebih dulu memikirkan itu. Asal kamu tahu saja, setiap malam aku berpikir ingin pulang dan segera mengunjungi rumah orang tuamu. Berencana mengajakmu ke sini (kalau boleh). Tidak, aku hanya bercanda J.
Yang ini aku sangat serius. Aku rasa kita sudah cukup untuk saling mengenal, aku tahu kamu dan sebaliknya. Nes, sejujurnya aku pun ingin menikah denganmu. Semoga saat membacanya kamu tersenyum sambil ingin memelukku ya atau gemas karena ingin memukul lenganku berkali-kali. Menulis ini saja aku sudah deg-degan, Nes. Ah, kamu tahulah aku itu tidak ahli dunia pergombalan anak muda! Aku selalu to the point, kan?
Dulu, waktu nembak kamu saja aku perlu bantuan sahabatku, Rehan. Kamu sampai menganggapku bercanda dan tidak serius, kan? Itu sudah berlalu. Aku tetap pacarmu ... ehm, calon suamimu, yang nggak bisa merayu. Aku tahu kamu baik dan menerima aku apa adanya.
Kita harus berpisah lagi, Sayang. Semoga suatu hari nanti kita punya waktu lebih banyak dan panjang untuk bersama dan berbagi cerita lucu, tentang apa pun. Tentang kamu dan aku yang saling menghujani langit dengan doa-doa, serta membisiki angin untuk titip rindu! Tentang aku dan kamu yang ribut, bahwa siapa yang lebih besar rindunya. Iya, kan?
Jangan tertawa kalau aku berubah sok romantis! Ini ada temanku yang membisikiku kata-kata manis.
Terakhir, akan kuatur jadwal kepulanganku setelah beberapa urusan di sini selesai. Aku janji akan pulang untuk keluargaku, juga untukmu.
Salam rindu dari Adrian. Pacar kamu satu-satunya.
Jari jemariku gemetar mengetik balasan singkat untuknya, air mataku sudah meluncur membasahi pipi yang polos. Perasaanku teramat lega sekarang. Ian akan pulang, semoga urusan kami menjadi mudah Ya Allah.
Aku tunggu, Yan. Kamu hati-hati ya. Terima kasih, Sayang.
Sungguh, aku ingin membalas lebih dari apa yang aku tulis barusan, tetapi jariku tak sanggup untuk mengetik lagi. Terlalu haru dan bahagia meletup-letup.
♡♡♡
SUDAH LEGA KARENA SUDAH DIBALAS SAMA IAN, KAN?
APA MASIH KURANG PUAS?
JAWAB SEKARANG YA :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Dari Apapun
Genç Kız EdebiyatıKehidupan tak semulus selembar kertas putih, karena pada akhirnya banyak coretan tinta berbagai warna di atasnya. Itulah kehidupan yang aku jalani. Aku mencintai kekasihku, Ian. Sayangnya, jarak membentang terlalu jauh. Hari-hariku malah terjebak be...