[9] Rencana Besar Noya

350 56 5
                                    


Dilangkahi atau tidak, tidak akan berpengaruh dengan tanggal pernikahan kita. Kalau sudah waktunya, kita yang akan duduk di pelaminan juga. –Korban pelangkahan




Wow, kayaknya seminggu lebih enggak update ya?

Maafin ya temans, lagi sibuk bikin kuker?

Kalau kalian sibuk bikin apa?

Bentar lagi lebaran buat umat muslim sedunia, aku mau ngucapin selamat buat kalian yang merayakan dan semoga mendapatkan pahala besar atas ibadah di bulan ramadhan ini ya!

Maaf lahir batin ya sodaraku sebangsa setanah air, maaf kalau aku banyak khilaf di semua akun medsosku. Mohooon bener-bener ridhonya ya.



Baiklah, mari kita lanjut part 9.

Aku tahu, kalian sudah menunggu lama 😊



____




Dunia rasanya nggak adil! Pantang buatku berteriak lantang seperti itu, seperti orang kesambet saja. Meski saat ini suasana hatiku sedang kacau sekali karena sedang ada acara penting di keluarga besarku, membahas rencana pernikahan Noya. Anak gadis yang jelas-jelas lebih muda dariku, dia akan menikah. Nasib seseorang tidak ada yang tahu. Kalau nikah pakai hitungan umur, sudah jelas aku nikah duluan daripada Noya. Namun kenyataan tidak bicara begitu, umur itu sebuah angka, tapi ada campur tangan Tuhan yang menentukan nasib manusia.

Aku duduk di seberang Mama dan Papa. Menunduk, jangan tanya lagi ngapain, sedang khusyuk berdoa supaya tidak ada yang nekat tanya-tanya, "kamu kapan nikah?". Kalau teman sendiri sudah akan aku gampar pakai sandal jepit yang kupinjam dari Mama, mereknya lokal yang melegenda itu lho. Kalau orang tua yang tanya, aku bisa apa? Paling cuma melongo.

"Hmm." Pakde berdeham sebentar.

Jadi yang akan menikah adalah cucunya Pakde ini atau anak sepupuku, Noya memang anak sepupuku yang sudah berumur di atas 40 tahunan. Sudah pernah kubilang kan kalau Papa memang anak bungsu dari banyak saudara? So, para sepupuku sudah punya anak yang nyaris seumuran denganku.

Dengan bahasa diplomasi ala keluarga Semarang, serta campuran bahasa daerah khas Jawa, mereka terus berdiskusi. Aku tidak terlalu mengerti obrolan ini, sebab sejak SMP sudah tinggal di kota yang jauh dari krama inggil atau halus, lalu kuliah tinggal di Bandung dengan bahasa sundanya, dan sekarang aku berlanjut terkontaminasi bahasa gaul ala Jakarta. Kalau ada anggota keluarga besarku yang tanya pakai bahasa halusnya, aku suka mendadak telmi dan gagu, kalau tidak punya jawaban biasanya aku cuma bisa mengangguk atau menggeleng, cukup dua itu saja andalanku.

Dari tadi mereka ngomong apa, aku juga tidak tahu. Noya pun sama, apalagi calonnya yang jelas-jelas bukan orang Jawa. Kami bertiga seperti terdampar entah ke planet mana.

"...Kliwon saja..."

Itulah yang bisa aku serap, satu kalimat pun tak utuh. Tradisi Jawa, menikah masih pakai adat-adat dan menghitung weton untuk menentukan tanggal hari H. Kalau orang tuaku sendiri sudah tidak percaya soal begini, tapi kakak Papa masih melakukan ini sehingga Noya harus berbesar hati demi melaksanakan pernikahan yang penuh restu keluarganya.

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang