[27] Ketika Dia Duduk Di Sini

457 77 12
                                    


Tidak semua atlernatif itu menjebak. Ada pula yang menarik ke dalam dunia yang luar biasa, ajaib.


Wajib banget baca bab 26 di KK. Karena itu titik balik Rehan dan Kanes.



BAB 27




Tiga minggu kemudian...

Aku melangkah keluar kamar ketika sudah mengenakan baju kantoran, dress batik selutut. Ini kostum khusus hari Jumat. Kugunakan handuk kering untuk mengurangi kadar air pada rambut yang basah. Berjalan ke pantry dan melihat Rehan sudah di sana, ia sedang memanggang roti.

"Han," panggilku pelan.

Ia menoleh sekilas lalu sibuk dengan aktivitasnya lagi. Apakah kebanyakan lelaki tidak bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu ya, alias tidak multitasking. Menurutku, Rehan ini termasuk golongan tersebut. Ia harus mengerjakan satu demi satu pekerjaannya dan baru bisa fokus ke hal lain.

Pagi ini dia terlihat segar dan rapi. Seperti biasa, si bapak dokter selalu terlihat menarik. Ia memakai kemeja putih bergaris samar dan celana warna khaki. Rambutnya sudah disisir rapi tanpa perlu pakai gel seperti kebanyakan pria, dan aroma parfumnya semerbak sekali, beradu dengan aroma mentega yang terpanggang.

Aku mengalihkan perhatian dari Rehan yang mulai mengacaukan pikiranku. Isi kepalaku mulai teraduk-aduk karena setiap pagi harus melihatnya memanggang roti, membuat teh, susu, cokelat, atau kopi di dapur mini ini. Belum cukup rasanya, setiap malam aku pun harus bertemu dia di sini. Menatap wajah lelahnya yang tetap terlihat damai dan menawan. Memesona sepanjang hari.

Haduh, perutku mulai bergejolak aneh.

"He-em!" Suara deheman dari rongga mulutku, mendadak seret seketika saat seratus persen sadar bahwa aku dan dia kini tinggal dalam satu atap yang sama! Seperti mimpi. Seperti kejatuhan sesuatu yang rasanya tak mungkin, tetapi ini sungguhan dan nyata terjadi.

"Aku mau cokelat buatan kamu dong!" kataku sambil menarik kursi dan duduk bersandar, handuk masih menyampir di atas kepalaku.

"Oke." Terdengar jawabannya, singkat.

Saudara ... memang sudah seminggu kami menikah. Ya, benar. Aku dan Rehan sudah menikah! Resmi menjadi pasangan suami-istri di abad 21 yang serba modern ini. Pasangan muda. Pasangan aneh yang entah kenapa tiba-tiba menikah?

Walau sudah menikah, tetapi rasanya belum banyak yang berubah. Aku dan Rehan tetap seperti teman biasa, mengobrol apa adanya, seperti yang dulu-dulu saja. Jangan kira kami tidur di kamar yang sama, apartemen ini punya dua kamar dan Rehan menempati salah satunya.

Pernikahan tanpa cinta satu sama lain, tanpa visi yang jelas. Namun, menjadi sebuah solusi bagi keluarga besarku yang pada akhirnya tak jadi menanggung malu karena Keneshia hampir gagal menikah. Niat yang salah? Mungkin untukku iya, harus kuperbaharui niat pernikahan ini seiring berjalannya waktu. Tetapi bagi Rehan, dia bilang bahwa sejak awal menikah dia sudah sangat yakin. Tanpa beban, tanpa ada perasaan terpaksa.

Hari pertama, ketika aku menyadari bahwa aku sudah sah menjadi istrinya, aku sangat kaget karena aku terlalu cepat memutuskan dan mengiyakan permintaannya.

Dia bilang, menikah itu ibadah terpanjang, dia yakin dengan semua ini. Dia melakukannya dengan jujur dan sadar. Sementara aku masih belajar, entah sampai di pekan ke berapa aku akan belajar. Belajar untuk menerima kenyataan bahwa aku sudah tak single lagi, bahwa suamiku adalah temanku sendiri.

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang