[3] My Boy is Adrian

531 72 1
                                    

Masih semangat puasa, kan?

Ini dibaca kapan? Pas Ramadan berlangsung atau nanti aja setelah Lebaran guys?



♡♡♡

My Boy is Adrian





"Jadi, Ian gimana?" ulang Rehan dengan sabar.

"Alhamdulillah baik, kemarin baru e-mailan lagi. Panjang banget ceritanya, serasa baca novel, Han."

Kulihat Rehan mengangguk.

"Jangan alihin topik deh, tadi kita bahas perempuan lho ya!" aku setengah mendelik menatapnya. Dia tertawa pelan. "Jangan buat aku mati penasaran dong, Han. Nggak lucu ih!" aku menarik lengannya, supaya cepat sampai ke sudut yang menjadi tujuanku ke sini.

"Nggak ada, Nes. Tadi isengin kamu doang. Banyak tanya sih!"

"Halah, alasan! Awas kalau sudah punya tapi diumpetin!" Aku sibuk memilih blazer lengan panjang. Modelnya menarik. Banyak pilihan warna; dongker, abu-abu, biru... "Eh, ini bagus nggak, Han?" sering sekali aku menanyakan pendapat Rehan tanpa sadar. Ini sudah menjadi kebiasaan sejak setahun lalu. Ya, setahun lalu Rehan baru balik ke Jakarta setelah menyelesaikan spesialisnya di Bandung.

Rehan menatapku dan blazer biru sebentar. "Lumayan."

Jawabannya selalu standar, bikin aku ketawa. "Haha, lumayan aja kamu mah." Aku menepuk lengannya. "Kamu cepet-cepet cari istri, Han. Aku tuh serius nih, kamu sudah pantes banget nikah tahun ini. Nggak bosen apa hidup sendiri sampai mau tiga-puluh gini? Jangan mikir yang susah-susah, perempuan baik itu banyak. Eh, siapa tahu ada pasien kamu yang anterin adiknya periksa gigi." Aku nyengir lebar, Rehan menanggapiku dengan menggelengkan kepalanya.

"Kebanyakan pada anterin anaknya, Mbak." Sahutnya lucu.

"Oh, gitu ya, Mas?" Kami tertawa bersamaan, membuat si mbak SPG-nya menoleh dan ikut tersenyum melihat tingkah kami.

Blazer biru sudah ada di tanganku, saat akan menuju kasir mendadak Rehan memanggilku. "Nes, sekalian pilihin kemeja buat aku bisa nggak?"

"Oh, boleh-boleh. Ukuran kamu apa sih?" seringnya aku yang meminta diantar belanja baju olehnya, sementara Rehan lebih sering keluar-masuk toko sepatu.

"Medium dan large bisa, Nes." Rehan mengikutiku, aku menuju barisan kemeja kantoran lengan panjang. "Warnanya terserah kamu lah, aku mah yang penting pakai baju saja."

"Ih, dokter gila!"

"Waras, Nes. Bukan gila." Celetuk Rehan yang terdengar dekat sekali di telingaku. Aku menoleh dan kaget karena jarak kami terlalu dekat. Dia akhirnya mundur dua langkah. "Nah, itu yang di tangan kamu bagus." Dia menunjuk dengan tangan kanannya.

"Oh..," aku mengangguk kikuk. Lalu memeriksa kemejanya dengan teliti. "Ini size XL, Han. Kayaknya kebesaran buatmu, yang L aja ya?" Aku berputar mencari pelayan tokonya, meminta ukuran lebih kecil untuk Rehan. Dari jauh aku melihat Rehan mengamatiku, entah mengapa aku merasa saat ini dari tatapannya ada sesuatu yang dia sembunyikan.

"Buat Mas itu ya, Mbak?" tanya seorang SPG padaku, ia menunjuk ke arah Rehan yang sedang berdiri agak jauh dariku.

Aku mengangguk, "iya. L aja. Tolong carikan ya."

"Baik," si Mbak itu berlalu dan sibuk mencari sesuatu yang aku butuhkan.

Sesaat tatapanku kembali ke Rehan, dia sedang memainkan ponselnya, sibuk sendiri. Teringat tentang Ian, kapan terakhir kali aku bersama kekasihku di department store seperti ini ya? Yan, andai saja kamu tahu kalau sebenarnya aku ingin kamu pulang tahun ini. Berjarak jauh seperti ini membuat aku kesepian. Rehan memang di sini, tapi dia bukan kamu.

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang