Jika hatiku ibarat rumah, akan kubiarkan kamu saja yang kembali ke sini. -Rehan
semoga sukaaa
enjoy!
Aku bangun dengan kepala agak pusing. Semalam, aku nyaris tidak tidur karena menemani Rehan menonton siaran ulang pertandingan bulu tangkis internasional di televisi. Pukul satu aku masih bertahan di sofa, duduk di samping Rehan yang fokus melihat layar di depannya. Dia nyaris tidak berkedip, mimik wajahnya sangat serius. Seperti sedang memeriksa kondisi gigi seorang pasien saja.
Lalu, aku tak tahu mengapa tubuhku sudah terbaring di atas tempat tidurku sendiri. Entah sejak kapan dan pukul berapa ... karena seingatku, aku sempat menguap berkali-kali saking ngantuknya. Tak tahan, akhirnya menyandarkan kepala ke sofa. Semalam, aku merasakan tangan Rehan menarikku hingga kepalaku jatuh ke dadanya, aku diam dan tidak menolak. Selanjutnya, aku tidak tahu apakah aku mengorok di samping Rehan? Memalukan kalau itu sampai benar-benar terjadi.
Kanes ngorok? Ih, rasanya nggak pernah ya!
Kulangkahkan kaki dengan gontai menuju kamar mandi. Jam menunjukkan pukul enam lewat lima puluh menit dan kebetulan aku sedang tidak shalat, makanya Pak Dokter pun tidak membangunkanku. Baguslah kalau dia tahu istrinya sedang berhalangan.
Selesai membersihkan diri, aku duduk kembali di atas tempat tidur. Menselonjorkan kaki yang nyeri akibat hormone menstruasi, ada peradangan sendi di sana-sini. Nyeri. Aku mengecek ponsel, menemukan lima panggilan tidak terjawab. Semuanya dari orang yang sama. Zaky.
Kenapa sih pagi-pagi Zaky ribut banget. Selain missed call, ada juga pesan masuk darinya.
Why? Bola mataku membelalak saat membaca pesan darinya. Kuulang lagi, kubaca dengan teliti dan tulisannya tetap tidak berubah.
Mbak, aku mau ke Jakarta lusa, tulis Zaky untukku.
Aku langsung loncat dari tempat tidur. Berdiri tegak dan kebingungan. Bagaimana ini?
Ya, Rehan harus tahu soal ini. Akan jadi masalah besar kalau keluargaku tahu bahwa kami ... hah, berpisah tempat tidur sampai detik ini! Pernikahan macam apa ini? Macam sineteron.
Aku mengetuk pintu kamar mandi luar, tepat di sebelah pantry. Rupanya Rehan sudah selesai mandi beberapa menit lalu, tetapi belum keluar juga. Ada informasi urgent dan sangat mendadak yang harus segera kusampaikan. Bersyukur aku tidak sampai jantungan.
"Rehan ... ini ... ini gawat!" Mukaku sudah panik. Aku juga teriak-teriak seperti orang kerasukan. Masih berdiri di depan kamar mandi ini.
Rehan akhirnya keluar dari kamar mandi, wajahnya terlihat segar walau kaget saat melihatku sudah rapi. Ia hanya memakai handuk yang terlilit di pinggang, aku buru-buru menoleh ke samping. Lain arah. Kalian tahu, baru kali ini aku menyaksikan dada bidang Pak Dokter, meski tidak six-pack tetapi perutnya cukup rata dan itu membuat aku terpesona!
"Kenapa?" tanyanya pelan.
"Itu ... ehm ... aduh!" Aku kesal sendiri, otakku sulit berpikir akibat sudah terkonfrontasi oleh wangi shampoo, sabun dan aroma mint yang bersumber dari—siapa lagi kalau bukan—Rehan!
"Tenang dulu, Nes." Rehan menepuk lenganku pelan. Aku buru-buru menoleh. Mengarahkan tatapan ke wajah, bukan ke dada bidangnya yang sepertinya nyaman kalau dijadikan tempat bersandar. Apa sih, Kanes ... ssss, otakku mulai kacau!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Dari Apapun
ChickLitKehidupan tak semulus selembar kertas putih, karena pada akhirnya banyak coretan tinta berbagai warna di atasnya. Itulah kehidupan yang aku jalani. Aku mencintai kekasihku, Ian. Sayangnya, jarak membentang terlalu jauh. Hari-hariku malah terjebak be...