[44] Mencoba Bangkit

725 55 8
                                    


Hidup itu seperti air laut, pasang dan surut. Hadapi dengan yakin dan berani.



Kasih aku love dong!

Mari komen per baris lagi

Tandain tiap kata yang kalian suka banget yaw

Karena ini adalah part ter-akh-ir




Sejak pertengahan bulan Maret aku berhenti bekerja, lalu mengikuti semua saran Rehan dan tidak mau membantah sedikit pun. Hampir saja aku menyerah dalam hidup untuk kedua kalinya setelah masa-masa kehilangan Ian kemarin. Bagaimana tidak? Sesuatu yang aku sayang telah hilang. Tak dapat kembali. Sesuatu itu sudah diambil oleh pemilik sesungguhnya, Tuhan.

"Semua hanya titipan, Nes. Kita enggak punya hak apa-apa selain cuma meminjam," ucap Rehan suatu malam, menyadarkan aku bahwa semua hal memang bisa Dia ambil kapan pun Dia mau.

Kalau tidak ingat hidupku pun berasal dan akan kembali padaNya, mungkin aku sudah mengurung diri berhari-hari. Menggerutui takdir tanpa henti. Tidak ada habis-habisnya marah pada kuasa Allah. Tidak akan bisa lepas dari bayang-bayang kehilangan. Rasa kehilangan memang pahit sekali.

Ya Tuhan, baru kusadari bahwa ternyata aku tidak memiliki apa pun di dunia ini. Seujung kuku pun, aku tak punya. Semua milikMu. Aku meminjam dariMu Yang Maha Baik.

Tak ada satu pun yang bisa kami miliki dengan utuh sampai nanti, sampai mati. Karena hal itu pulalah akhirnya aku belajar ikhlas menerima semua ini. Apa yang terjadi sudah kehendak Sang Kuasa. Aku tidak dapat membantah atau memintanya kembali walau derai air mata tak pernah surut hingga detik ini.

Namun, adanya kejadian pahit ini pun membuatku belajar banyak hal. Bahwa semua yang ada di dunia ini hanya bisa kuletakkan dalam genggaman semata. Aku tidak pernah benar-benar memilikinya, termasuk Rehan. Allah bisa mengambil kekasihku itu kapanpun Dia mau. Tetapi tolong, jangan ambil sekarang Ya Tuhan.

Aku butuh Rehan lebih dari apa pun.

Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelahan, terus kuulangi sampai dadaku terasa lega luar biasa.

Kuhitung-hitung, sudah dua bulan aku menganggur di apartemen ini. Rasanya sudah bosan, seperti orang tidak berguna yang setiap hari hanya makan dan tidur saja. Aku kehilangan moment sibukku di kantor, semua aktivitasku nyaris tercerabut. Tak ada yang bisa aku lakukan, hanya duduk di sofa sambil membaca-baca dan menunggu Rehan pulang. Tak ada suara, tak ada yang mengajak bicara kecuali saat Mama, Noya, atau sahabat-sahabatku telepon.

Kehidupanku nyaris kosong. Hampa.

Aku jarang bercerita pada Rehan, tidak seperti sebelumnya. Mau bicara apa? Aku di rumah saja, tidak ada yang menarik. Paling-paling yang keluar dari mulutku hanya satu kata, "bosan". Rehan juga sudah bosan mendengar kata itu, pastinya.

Alhasil kalau Rehan sedang ada jadwal di klinik, dia akan mengajakku ke sana. Klinik tidak jauh berbeda dengan apartemen, meski di sana ada banyak orang tetapi terasa sunyi untukku. Aku tetap sendiri kalau Rehan masih sibuk bekerja, aku menyibukan diri dengan membaca-baca, menonton apa pun, menunggu jam makan siang agar bisa makan bersama suamiku. Kadang aku iseng mencari teman mengobrol di lorong-lorong klinik, mengobrol bersama anak-anak yang menunggu atrean perawatan gigi dengan dokter masing-masing. Satu, dua, sampai ada tiga anak yang bisa aku ajak bicara. Kami terhubung, tanpa canggung. Interaksi singkat itu rasanya menghangatkan jiwaku, walau cuma sesaat. Hanya sementara saja. Setelah itu, lagi-lagi aku merasa hampa.

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang