Tidak ada pernikahan tanpa pertikaian sekecil apapun.
"Rumah sakit dan klinik 'kan bukan punya kamu. Kamu nggak takut dipecat apa?" Entah, ini sudah perang mulut keberapa setelah kami menikah bulan lalu. Ternyata, membangun rumah tangga dengan seseorang yang belum kukenal luar dalam adalah sebuah ujian. Harusnya aku banyak belajar dengan membaca kepribadian pasanganku, atau kebiasaannya, atau apalah yang dapat membuat aku paham dan tidak menyebabkan adu debat seperti ini lagi.
Berulang kali seperti ini. Aku yang kurang sabaran dan tidak banyak maklum, dia yang menurutku banyak menuntut. Sepela saja sih, dia hanya ingin kami berangkat dan pulang kerja bareng, setiap hari. Tapi bagiku itu tidak efisien. Jakarta itu meski jaraknya kurang dari 20 KM, tapi kalau macet bisa berjam-jam dan mendadak tua di jalanan.
Rehan masih persisten mengantar jemput, meski dia masuk klinik pagi-pagi. Apa sikapnya tidak bikin heran?!
"Kamu bisa terlambat kalau macetnya kayak tadi pagi lho...." Aku berusaha sabar, menahan ledakan emosi karena mengingat petuah Mama, bahwa suami itu bisa jadi surga dan nerakaku. Bahaya!
"Nggak pernah telat," Rehan langsung menjawab. Santai.
"Terus kamu jalan jam berapa dari klinik kalau bisa sampai kantorku jam lima tiga puluh?" Kulirik wajahnya yang tampak setengah serius.
"Empat lewat. Aku kerja sesuai jadwalku kok. Nggak nyalahin aturan, kamu yang kerjanya biasa lebih dari delapan jam, Kanes."
Kutarik napas dalam-dalam, tahan amarah. "Makanya 'kan aku bilang, kamu balik duluan dan enggak perlu nunggu aku kayak tadi. Jam kerjaku suka mendadak ngaret." Aku membuang napas setelah memalingkan wajah ke sisi jendela. Masih tahan dengan perdebatan ini.
Mau berdebat sepanjang apa lagi kami ini? Mau mengalahkan kemacetan kota Jakarta? Aku akan menyanggupi kalau Rehan mau, egoku sedang naik ke ubun-ubun, duduk di puncak. Aku tidak mau mengalah, karena Rehan juga salah. Katanya, laki-laki itu simple, tetapi tidak bagi Rehan.
Rehan tidak menjawab perkataanku tadi, ia sabar menyetir di jalur tengah. Di sisi kanan ada bus transjakarta dan sisi kiri para pengendara motor saling serobot.
Pukul delapan malam, kami masih di jalan. Ini menjadi ajang perdebatan sengit antara aku dan Rehan yang sungguh melelahkan, drama benar dengan Rehan yang memaksa menungguku di kantor tadi.
Ternyata, setelah menikah jadi gini ya? Harus menyesuaikan jadwal kantor dengan pasangan. Seandainya Rehan tidak mau repot-repot menjemputku 'kan lebih aman. Aku tidak harus sekesal ini karena merasa bersalah dengannya. Juga tidak akan kehilangan banyak energi.
Lama kami diam, hingga akhirnya Rehan bertanya. "Kamu dari dulu lembur hampir tiap hari nggak sih?"
"Nggak juga. Ini lagi ada masalah aja di kantor." Aku menatap ke depan.
Sejak sepuluh menit lalu, mobil kami masih stuck saja di Tomang. Sementara di jalur sebelah para pengemudi motor pandai mencari celah untuk keluar dari kemacetan ini. Aku ingin mengomeli Rehan lagi kalau seharusnya dia balik duluan ke apartemen. Tahan, Nes, tahan....
"Kamu nggak dengerin radio, Nes?" Rehan masih ingat kebiasaan lamaku.
"Nggak. Lagi pusing."
"Kenapa?" Dia menoleh dengan cepat.
Aku balas menatapnya. "Kamu nggak bakal ngerti kalau aku ceritain juga. Ribet, masalah pembetulan pajak kantor."
Hening lagi. Aku mendinginkan kepala dengan menyandarkannya ke jok dan memejamkan mata. Daripada melihat sisi kiri karena para pengemudi motor pandai mencari celah, bikin kesal 'kan. Waktu tempuh dengan roda empat itu terlalu lama kalau jalanan padat seperti ini. Tahan, aku masih kuat menahan ledakan negatif.
![](https://img.wattpad.com/cover/202156798-288-k552676.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Dari Apapun
ChickLitKehidupan tak semulus selembar kertas putih, karena pada akhirnya banyak coretan tinta berbagai warna di atasnya. Itulah kehidupan yang aku jalani. Aku mencintai kekasihku, Ian. Sayangnya, jarak membentang terlalu jauh. Hari-hariku malah terjebak be...