[17] Tamu Untuk Mama dan Papa

290 39 0
                                    


Biarkan semesta menyaksikan kesungguhanku dan kamu.


Saatnya olahraga jantung. Selamat menikmati keuwuan ini ya teman-teman. Please, jangan baper!



Bab 17



Waktu melesat bagai pesawat terbang yang siap menembus awan di atas langit. Cepat dan singkat. Sudah sebulan lebih Ian ada di Jakarta, lalu sekarang dia datang ke kampung halamanku. Ia ikut menghadiri pesta pernikahan Noya yang dijadwalkan H+7 lebaran. Dia jadi tamu istimewa keluarga besar kami, tepat saat Feri—suami Noya—sah menjadi anggota keluarga besar kami tahun ini.

Ya, kebahagiaan melingkupi seluruh orang di sini, termasuk budhe dan pakdeku yang terus dan selalu bertanya, "kapan giliran kamu, Kanes?". Sekarang aku sudah bisa menjawab pertanyaannya dengan membawa calon suami datang ke rumah. Nanti biar kujawab, "tuh orangnya datang. Budhe dan Pakde mau tanya apa? Langsung saja sama orangnya".

Aku pastikan Ian akan diinterogasi banyak hal oleh mereka, aku sudah mengingatkannya soal siapa-siapa saja yang tingkat bawelnya di atas rata-rata manusia biasa. Dia harus sabar menghadapi keluarga besarku ini.

"Tenang, aku bisa kok," jawab Ian waktu aku telepon sehari sebelum dia ada di sini. Dan sekarang aku sangat lega, Ian terlihat bisa membaur dengan sekumpulan orang-orang bawel bin cerewet yang masih terhitung keluargaku. Tentu saja tidak semua orang begitu.

Ian kusuruh datang sendiri dan ia menurut. Ya, sebab ini kali pertama aku mengenalkan dia kepada keluarga besarku—meski namanya sering disebut-sebut oleh beberapa orang, sudah tidak asing lagi di telinga mereka. Apalagi Noya banyak bercerita kepada semua orang. Menguntungkan juga sih, karena tanpa diduga semua orang menyambut calonku penuh suka cita. Bahkan teman-teman Papa yang sedang menjadi tamu di pernikahan Noya saja sampai ikut antusias.

"Calon mantumu dokter tho!" kata teman Papa dengan girangnya. Seperti menyambut anak seorang pejabat ternama di tanah air. "Ganteng tenan calonnya Kanes ini!" tambahnya dengan senyum sangat lebar.

Papa hanya mengangguk singkat. Biasa saja. Katanya, "masih calon, belum jadi mantu beneran". Ada-ada saja 'kan Papa ini. Tapi beliau terlihat akrab mengobrol dengan Ian disela-sela kunjungan tamu undangan pada pernikahan Noya ini. Mereka duduk berdua di ujung, entah membicarakan apa, aku tidak bisa ikut nimbrung karena harus menjadi penerima tamu. Semua sudah diatur Noya dan Mas Aryo, aku hanya bisa manut saat kebagian tugas ini. Tidak masalah, hanya empat jam saja, memakai kebaya warna maroon, didandani super sempurna, dan berdiri di atas hak tujuh senti. Sebenarnya ini semua menyiksa jiwa dan raga. Aku kurang nyaman. Tapi lagi-lagi aku tetap tersenyum, memasang ekspresi termanis sepanjang acara berlangsung.

Saat aku sedang menyerahkan souvenir pada seorang tamu, tak sengaja bola mataku menangkap Ian, dia sedang menatapku lurus-lurus. Aku kaget dan salah tingkah. Sibuk menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, berkali-kali begitu, bertindak aneh.

"Kenapa kamu, Nes?" tanya teman di sebelahku. Tamu-tamu terus berdatangan, tanpa jeda. Antrian mengular sampai ke depan-depan.

"Ndak," jawabku seraya menggeleng pelan.

Kuberanikan diri mengangkat wajah lagi, melihat Ian yang masih duduk dengan Papa. Lelaki itu sedang tertawa saat diajak ngobrol oleh salah seorang pakdheku. Aku mengulas senyum dan sekian detik menatapnya sampai tertangkap basah olehnya. Malu lagi. Salah tingkah. Kali ini tidak lagi menyelipakan anak rambut di belakang telinga, tapi menunduk sampai membuat teman sebelahku ketar-ketir.

Lebih Dari ApapunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang