Taqabbalallahu minna wa minkum
Selamat Idulfitri 1444 H
Mohon maaf lahir dan batin
Dunia adalah panggung hiburan yang nyata. Suka, duka, tawa, air mata. Semua berkumpul di sini. Tumpah ruah.
---------
Benar-benar tidak ada berita tentang Timur Tengah di TV. Sama sekali. Sementara itu Ian belum juga memberiku kabar sejak e-mail terakhirnya itu, aku makin resah sendirian. Kubuka Instagram mencari akun-akun yang menyiarkan keadaan Palestina. Puluhan menit berselancar dengan perasaan berkecamuk.
Ketemu!
Akhirnya ketemu.
Lembaga kemanusiaan yang aku ikuti itu selalu mengabarkan kondisi di Palestina. Isi postingannya bersih dari berita-berita yang mengerikan seperti beberapa waktu lalu. Meski tidak menyebutkan nama rumah sakit tempat Ian menjadi tenaga medis di sana, setidaknya hatiku merasa lebih lega.
Semua baik-baik saja. Aman.
Nama Rehan mendadak muncul di layar ponselku. Aku kaget sekali. Ponselku masih berdering di tangan, herannya jantungku ikut berbedar tak terkendali. Perlahan-lahan aku mengurai kekagetanku tadi.
"Iya, Han?" tanyaku setelah menerima panggilan itu dan napasku terasa agak sesak.
"Nes? Kamu kenapa?"
"Oh, nggak ... cuma kaget saja. Aku pas lagi lihat HP tadi, mendadak layarnya berubah ke panggilan masuk."
"Astaghfirullah ... maaf, Nes. Nggak maksud bikin kamu kaget," ujar Rehan, merasa bersalah.
"Iya, kamu nggak sengaja juga, kan." Aku tersenyum, debaran di dadaku sedikit mengendur. Jantungku, kenapa harus selebay ini sih? "Ada apa, Han?"
"Aku di bawah, mau mampir."
"Oh ya?" Aku terlonjak lebih kaget lagi. "Kenapa mendadak sih!" Sambil berjalan ke dekat pintu untuk memberi akses pada Rehan, aku juga menggerutu. Terdengar di ujung sana Rehan tertawa pelan. Tawanya renyah.
"Maaf ...."
"Nggak dimaafin! Aku belum sempat beres-beres apartemen, bahkan nyapu saja belum!"
"Sudah mandi, kan?" Rehan sepertinya masuk dalam lift. Suaranya agak beda.
"Kenapa kalau belum?"
Dia tertawa lagi.
"Kamu kayaknya senang banget ngerjain aku ya, Han? Kenapa sih?" Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Yah, aku ngerjain siapa dong? Anak Kak Ghaida nggak di rumah."
"Cari pacar gih!"
Rehan tertawa lagi.
"Eh, cari calon istri maksudnya! Udah dapet yang pas belum?"
Rehan tidak menjawab.
"Han?"
"Sampai. Buka dong." Rehan mematikan ponselnya tanpa perlu menjawab pertanyaanku barusan. Lihat saja, kadang seorang dokter pun bisa semenyebalkan ini.
Rehan datang dengan belanjaan banyak sekali. Luar biasa. Dia mulai memasak di pantry, sementara aku masih sibuk di depan ponsel mencari-cari banyak berita. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah artikel yang menyebutkan nama rumah sakit tempat Ian berada. Rumah sakit Shifa di Gaza City. Menyebutkan bahwa di sana ada sekitar 250 bayi yang membutuhkan bantuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebih Dari Apapun
Literatura FemininaKehidupan tak semulus selembar kertas putih, karena pada akhirnya banyak coretan tinta berbagai warna di atasnya. Itulah kehidupan yang aku jalani. Aku mencintai kekasihku, Ian. Sayangnya, jarak membentang terlalu jauh. Hari-hariku malah terjebak be...