Bagian 7

4.6K 339 35
                                    

Author POV

Hari ini Adam dan Rani tengah bersiap-siap untuk pindah ke apartemen. Orang tua Rani datang dan membantu membawa barang-barang yang sekiranya penting untuk dibawa ke sana. Mulai hari ini, Adam dan Rani akan tinggal berdua di apartemen itu. Membayangkan hanya berdua saja bersama lelaki super dingin seperti Adam, Rani sampai gemetar. Semalaman dia tidak bisa tidur karena hal ini.

"Udah semua kopernya dibawa, Ran?" tanya Winda yang menghampiri Rani di teras depan. Rani mengangguk kecil, dia memang tidak membawa banyak perabotan di kamarnya. Rani cuma membawa semua pakaian dan juga benda elektronik seperti laptop.

"Kamu baik-baik ya di sana? Inget, nggak boleh bantah omongan suami selagi baik untuk dikerjakan. Kalo butuh sesuatu, kamu bisa telepon mama atau mama Vania. Kami selalu di sini buat kamu," ujar Winda sembari memegang kedua tangan Rani yang dingin seperti es. Mendengar penuturan mamanya, Rani sampai meneteskan air mata. Dia rindu berada di rumahnya sendiri, Rani masih tidak rela harus berpisah dengan orang tua yang menyayanginya.

"Udah dong, nak... Kamu jangan nangis ya? Mama bakal sering-sering mampir deh kalo kamu kangen atau nanti kamu sama Adam nginep di rumah kapan-kapan," tukas Winda sembari mengelap pipi Rani yang basah. Gadis itu mengangguk lirih, dia bersyukur mamanya bisa menjadi penyemangat di kala gundah seperti ini.

"Makasih, mama. Oh iya, papa sehat-sehat aja kan ma? Rani liat dari tadi papa semangat banget," tanya Rani sembari melirik papanya yang sedang mengobrol dengan Erick dan Adam di pekarangan rumah mertuanya ini.

Winda tersenyum lirih, dia mengusap pipi Rani seraya mengangguk. "Ya, papa baik kok."

Winda tidak mungkin memberitahu Rani kalau kemarin penyakit yang diderita oleh suaminya kembali kambuh. Winda tidak mau membebani Rani dengan beragam masalah. Selagi masih bisa ditangani olehnya sendiri, Winda akan berusaha.

"Rani kepikiran sama papa terus. Rani takut papa sakit lagi," ungkap Rani dengan wajah murungnya. Winda mendekap tubuh sang putri, diusapnya punggung Rani dengan penuh kasih sayang.

"Papa sama mama sehat, nak. Kamu fokus aja ya sama diri kamu sendiri. Kalo ada apa-apa, mama pasti akan telepon," balas Winda yang berusaha menenangkan keresahan putrinya.

Rani balas mendekap mamanya, ini akan menjadi sangat berat. Berpisah dari mama dan papa secepat ini tidak pernah terpikirkan oleh Rani. Andai mamanya tahu kalau selama satu Minggu menikah, Adam sama sekali belum menyentuhnya bahkan menoleh pun tampak enggan sekali.

Iris matanya melirik ke arah sang suami. Rani menatapnya penuh arti, Adam benar-benar idaman semua wanita. Tubuhnya tinggi, penuh karismatik, bukan tipe pria yang hobi main-main, dan Rani akui Adam benar-benar bertanggung jawab bahkan untuk urusan dirinya sendiri. Namun, hati pria itu sekeras batu. Sulit untuk melelehkannya meskipun Rani menumpahkan api sekalipun.

Rani terkejut karena Adam tiba-tiba ikut meliriknya. Gadis itu lantas segera berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumah untuk mengambil sisa barang yang tertinggal.

Selesai berkemas, tibalah saatnya bagi Adam dan Rani untuk pergi ke apartemen. Mereka sudah sepakat kalau orang tua tidak perlu ikut serta mengurus kepindahan mereka. Adam berkata kalau dia bisa mengaturnya sendiri bersama Rani.

Sikap Adam yang sangat bertanggung jawab menjadi nilai tambah bagi mertuanya. Mereka merasa tidak salah memilih menantu, sedangkan Rani justru merasakan ancaman. Dia tidak tahu apa yang akan dia lalui di rumah barunya apalagi cuma berdua dengan lelaki yang merupakan suaminya ini.

"Hati-hati ya, nak! Nanti kalo udah di situ cepet-cepet kabarin kami." Vania mendekap putra dan menantunya bergantian. Dia ingin sekali menangis bahagia karena kini anak laki-laki satu-satunya sudah menikah dan memulai kehidupannya sendiri.

Pelampiasan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang