Bagian 32

7.1K 391 55
                                    

Author POV

"Rani masih nggak mau maafin Adam, pa."

Adam duduk dengan wajah frustasi di kamar penginapannya. Hari sudah malam ketika dia memutuskan untuk pulang sejenak karena Rani masih kukuh untuk berpisah darinya meskipun mulut Adam sudah ratusan kali mengucapkan maaf serta menjelaskan segala kesalahpahaman.

"Dia bilang apa sama kamu?"

Adam menghela napasnya berat, tubuhnya terbaring di atas ranjang. Lelah sekali karena seharian ini terus mengejar-ngejar Rani demi mendapatkan kesempatan lagi. Adam tidak berhenti mengusiknya.

"Rani tetap mau cerai. Adam nggak mungkin ngelakuin itu," jawab Adam. Tidak ada tempat lagi untuk bercerita selain dengan papanya. Menurut Adam masalah seperti ini hanya bisa diselesaikan dengan sesama lelaki. Jika dia meminta bantuan mamanya, yang ada Adam yang kena semburan panas dari sang mama. Ingatkan dia bahwa mamanya itu sangat menyayangi menantunya.

"Besok kamu temui dia lagi. Nggak apa-apa bilang maaf berulang kali. Menyerah cuma akan mendatangkan kabar buruk, kali ini pastikan Rani sepenuhnya mendengarkan kamu," jelas sang papa. Adam memejamkan mata seraya mengangguk, dia tidak akan menyerah karena Adam tahu bahwa sebenarnya Rani tidak mungkin secepat itu ingin berpisah di saat cinta mereka mulai bermekaran.

"Hmm, tapi kalo Rani tetap ingin berpisah?"

"Nak, segala sesuatu itu harus diperjuangkan dulu. Gimana kita bisa menduga kalo belum dicoba? Jangan tanamkan sifat pesimis," sanggah Erick di seberang sana. Adam setuju dengan argumen papanya, itulah yang sejak dulu selalu diajarkan kepadanya. Sebagai manusia yang mandiri tentunya harus punya semangat juang dan pikiran positif.

"Ya, Adam ngerti pa. Kalo gitu Adam tutup dulu teleponnya. Mau istirahat," pamit Adam kepada papanya. Tidak lama kemudian sambungan pun terputus. Adam meletakkan ponselnya di atas meja nakas, dia tidak peduli seberapa keras Rani menolak. Adam akan tetap membuatnya luluh.

...

Keesokan paginya, Rani terbangun setelah mendengarkan suara bel dan gedoran di pintu yang cukup kuat. Wanita itu berdecak pelan, dia langsung tahu siapa pelaku utamanya. Sejak Adam mengikuti jejaknya kemari, hari-hari Rani jadi tidak tenang. Dia masih kesal dan kecewa kepada Adam, tapi sebagian dari hatinya tidak mampu menolak desakan kerinduan yang semakin membuncah. Ingin rasanya Rani melemparkan tubuhnya ke dalam pelukan Adam, tapi dia tidak mau secepat itu mengalah.

Rani melirik lubang intip di pintu. Benar saja, Adam sudah ada di sana pagi-pagi seperti ini. Wanita itu membuka pintunya sebagian, ditatapnya Adam yang terlihat pucat sekali. Apa dia sakit?

"Boleh aku masuk? Aku bawain sarapan untuk kamu," tanya Adam sembari menunjukkan paper bag di tangannya. Entah di mana Adam menemukan sarapan sepagi ini.

"Kamu ngapain ke sini terus? Aku nggak mau diganggu," tolak Rani meskipun sejujurnya dia khawatir melihat kondisi Adam yang sepertinya memang sedang sakit. Rani menduga itu karena kemarin malam Adam tidur di teras rumah pantai yang mana udaranya sangat dingin dan dekat laut.

"Tolong, Ran. Kasih aku kesempatan," pinta Adam. Wajah pucatnya terlihat lebih menyedihkan sekarang dan itu membuat Rani menurunkan sedikit egonya. Dia membuka lebar pintu dan mempersilakan suaminya untuk masuk.

Adam langsung masuk ke dalam. Dia meletakkan sarapan yang tadi dia bawa ke atas meja makan yang terhubung dengan dapur minimalis. Tanpa bicara Adam mengambil piring lalu menaruh makanan yang dia bawa dari restoran hotel. Tentu saja sulit mencari sarapan di tempat yang tidak Adam ketahui, jadi menu dari restoran adalah pilihan terbaik.

Pelampiasan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang