Bagian 31

4.6K 381 30
                                    

Author POV

Semilir angin yang menyejukkan membuat seorang perempuan yang tengah berdiri di balkon depan rumah pantainya merasa begitu tenang. Dia memejamkan mata, menikmati ketika angin membelai lembut kulit putihnya.

Sudah dua Minggu ini dia menikmati kesendirian di rumah pantai. Entah sampai kapan dirinya mau bertahan di sini, Rani cuma ingin menenangkan pikirannya yang kacau. Suasana pantai dan suara ombak membuat kesedihan Rani perlahan terkikis. Dia menyukai aroma air laut yang seperti menusuk hidungnya apalagi udara yang terasa segar dan sehat.

Rani menyewa sebuah rumah pantai di dekat sini. Dua Minggu ini merupakan hari-hari terbaiknya di mana dia bisa menenangkan diri tanpa harus repot-repot mengurusi hal yang menyebabkan kepalanya sakit.

Rani pergi tentunya memberi kabar pada mama dan juga mama mertuanya. Hanya dua orang itu yang Rani percaya untuk menyembunyikan keberadaannya dari Adam. Meski begitu, Rani yakin cepat atau lambat Adam pasti akan mendatanginya entah dari mana pria itu mendapatkan lokasi tempat tinggal Rani.

"Nyaman sekali berada di sini. Andai papa..." Rani menggantungkan kalimatnya. Lagi-lagi dia mengingat soal papanya yang sudah meninggal. Rani begitu merindukan sosok sang papa, banyak hal yang belum sempat Rani ceritakan kepada papanya. Betapa Rani menyesal karena belum bisa menjadi putri yang membanggakan.

Ditatapnya jari manis yang kini tidak dihiasi cincin nikah. Rani melepaskan benda berkilauan itu beberapa waktu lalu, menyerahkannya kepada Adam agar suaminya bisa membuang benda itu. Mengingat soal Adam dan masalah yang terjadi dalam pernikahan mereka kerap membuat Rani marah. Kekecewaan mendalam yang dia dalam selama beberapa bulan menikah apalagi kini harus menerima fakta bahwa dia kehilangan calon bayinya berhasil menciptakan tembok tinggi di antaranya dan Adam.

Semakin hari Rani merasa bahwa hubungan ini tidak sehat dan dia ingin mengakhirinya. Akan tetapi, hampir setiap malam Rani memimpikan Adam. Tidak bisa dia bohongi bahwa dirinya dilanda kerinduan mendalam dan ingin sekali berbalik arah kepada suaminya lagi. Namun Rani takut dan trauma, dia tidak mau berakhir dengan kekecewaan untuk yang ke sekian kalinya.

Oleh karena itu, selama ini Rani bimbang. Sebagian dari dirinya ingin terus bersama Adam dan sebagian lagi ingin dia pergi menjauh. Rani tidak tahu mana yang harus dia ikuti.

Rani melirik ponselnya yang tergeletak di meja bundar ketika benda itu berdering kuat. Alis Rani menukik tajam, kira-kira siapa yang menghubunginya? Rani sengaja mengganti nomor ponsel selama ada di sini dan cuma mamanya yang tahu nomor baru Rani.

Rani membaca nomor asing yang tertera di layar. Wanita itu terdiam sejenak, dia ingat nomor siapa itu. Siapa lagi kalau bukan nomor suaminya, Adam.

Dengan agak ragu Rani meraih ponselnya. Dia menekan tombol hijau dengan pelan lalu didekatkannya ponsel ke telinga.

"Rani?" Rani memejamkan matanya mendengar suara itu. Tidak bisa dia pungkiri bahwa dirinya merindukan suara Adam. Dua Minggu ini mereka berpisah agar Rani dapat menenangkan dirinya. Namun bukannya tenang, Rani malah semakin digerogoti oleh kerinduan.

"Dapet dari mana nomor aku?" tanya Rani dengan nada dingin. Tidak semudah itu dia akan memberi akses lagi ke Adam. Rani mencintainya, tapi Rani pun masih punya ketegasan.

"Kak Akmal. Dia tau nomor kamu dari mama."

"Hmm, kalo nggak penting--"

"Tolong jangan dimatikan, sayang!" cegah Adam dan itu membuat Rani terperangah. Apa-apaan itu tadi? Adam memanggilnya dengan sebutan itu? Harusnya tidak ada yang aneh, sebelumnya Rani pernah mendengarkan kata itu keluar dari mulut Adam. Hanya saja dia tidak percaya bahwa pria seperti Adam bisa menyebut hal-hal yang biasanya dilakukan oleh lelaki romantis pada umumnya.

Pelampiasan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang