38

424 58 1
                                    

Ivee terbangun dengan rasa sakit luar biasa disekujur tubuhnya, ia bahkan tanpa sadar mngeluarkan ringisan kecil saat berusaha untuk menggerakkan tangannya.

"Sayang." Panggil seseorang yang begitu familiar ditelinga Ivee hingga membuat Ivee membuka matanya secara perlahan.

Hal yang pertama dilihat Ivee adalah wajah khawatir suaminya meskipun wajah tampan itu sudah penuh dengan luka lebam.

"Kau sudah sadar sayang? Oh thank God. Kau butuh sesuatu? Aku panggilkan dokter." Aaron tak henti-hentinya berbicara.

Sedangkan Ivee langsung menangis tanpa bisa disadar dan tentu hal itu semakin membuat Aaron panik, bahkan dengan cekatan pria itu menekan tombol untuk memanggil dokter.

"Sayang, apakah sesakit itu? Tunggu sebentar yah, dokter akan segera datang." Aaron berusaha menenangkan Ivee yang menangis tanpa sebab.

Tapi bukannya semakin tenang tapi tangisan Ivee justru semakin menjadi, bahkan gadis itu sudah menangis seolah melupakan bahwa tubuhnya sedang penuh luka dan pastinya sakit.

"Sayang kau membuatku panik, sabar sebentar yah, dokternya sedang menuju kesini." Aaron terus berusaha menenangkan tangisan sang istri hingga akhirnya Aaron membungkuk untuk memeluk tubuh Ivee.

"Kenapa hiks kau tidak hiks melawan hiks hiks hiks?" Ivee berbicara dengan suara tangisan tersedu-sedu.

"Apa maksudmu sayang?" Aaron dengan ketololan otaknya.

Percakapan mereka harus terganggu dengan kedatangan seorang dokter baya, dokter pribadi milik keluar Avellino.

"Bolehkah aku memeriksanya sekarang?" Tanya dokter wanita itu dengan sopan hingga membuat pelukan Aaron pada Ivee terlepas seolah mengijinkan Ivee untuk diperiksa terlebih dahulu.

Dokter baya itu pun melakukan pemeriksaan dan beberapa tanya-jawab dengan Ivee yang masih menangis tersedu-sedu.

Astaga! rasanya Aaron ingin mengusir sang dokter keluar saja karna Ivee tak kunjung berhenti menangis.

"Berhenti melakukam aksi-aksi seperti ini Ivee karna sepertinya musuh-musuhmu benar-benar ingin membunuhmu, setidaknya membuatmu menderita dengan mencoba menghancurkan rahimmu. Luka diperutmu diakibatkan karna tendangan berulang dan dalam skala yang kuat, masih bersyukur bahwa kita tak perlu mengangkat rahimmu tapi jika nanti kau berniat untuk hamil maka kau harus melakukan bedrest dan kemungkinan besar kau akan mengalami komplikasi. Kau benar-benar harus berhenti Ivee atau kau akan menyesal, mungkin jika kau mendapatkan 2-3 kali tendangan diperut lagi sudah bisa dipastikan rahimmu akan diangkat. Dengarkan aku okay, berhenti, hidupmu masih panjang dan jangan merusaknya dengan perkelahian-perkelahian yang tam berguna ini." Nasihat sang dokter dengan serius.

Perkataan sang dokter mampu membuat Ivee berhenti menangis sementara Aaron sudah mengepalkan tangannya, merasa marah, Ivee pelan-pelan menatap ke arah Aaron yang dimana matanya penuh dengan kemurkaan.

"Jika kau ingin menikah suatu saat nanti, sebaiknya bicarakan ini dengan calon suamimu kelak. Dan jika kau ingin melakukan program kehamilan maka kau benar-benar harus berkonsultasi dengan dokter yang terbaik." Lanjut sang dokter lagi.

Ivee sudah menggigit bibir bawahnya pelan, kepalanya berputar-putar, berusaha mencerna kata demi kata yang dokter ucapkan.

'Jadi separah itu.'
'Kemungkinan aku hamil akan komplikasi.'
'Apakah aku masih mungkin untuk hamil?'
'Aaron pasti marah.'
'Kakek juga, Jia juga.'
'Kenapa aku begitu bodoh.'
'Jika saja aku tidak lengah mungkin tak akan seperti ini.'
'Hamil.'
'Bedrest.'
'Aaron marah.'
'Aaron kecewa.'

Seperti itulah kira-kira isi pikiran Ivee, melalang buana pada hal yang pesimis dan membuatnya semakin down, untuk pertama kalinya.

"Ivee, kau mendengarku?" Sang dokter memanggil nama Ivee karna merasa Ivee sedang melamun.

The Shadow - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang