○ 14

657 65 8
                                    

Berulang kali Prilly menghembuskan nafas. Menetralkan degupan jantungnya yang berdebar dengan cepat. Sesekali menatap punggung belakang yang berjalan  masuk ke area lobby.

Setelah acara sarapan tadi pagi. Prilly memilih bungkam saat Alio mengungkapkan perasaannya. Jujur, dia bingung harus bereaksi seperti apa. Terlebih, menurut Prilly ini terlalu cepat untuk dia dapat menelannya dengan baik.

"Sediain gue dessert dan bawa ke kamar. Kita bicara lebih lanjut soal tadi. Gue butuh jawaban lo"ujar Alio memperingati kemudian berlalu masuk ke dalam lift.

Prilly meremas kuat tangannya. "Kenapa jadi kayak orang bodoh gini sih."

.

.

"Darimana aja lo? Enak banget kerja cuma secuil"sindir Jena kesal melihat Prilly sedang membuat puding.

Prilly tidak merespon sama sekali. Dia jadi capek sendiri kalau meladeni Jena. Terlebih, tadi pagi mendengar obrolan suami-istri CEO membuatnya lebih baik mengurungkan niat untuk membalas semua kekesalan, ejekan, dan sindiran supervisor kitchen ini.

Sudah cukup Prilly merasa direndahkan dan diperingati oleh Sang CEO. Dia tidak ingin mengalami hal yang sama untuk kedua bahkan ke berapa kalinya. Prilly hanya ingin fokus melakukan pekerjaan sesuai perintah Alio.

"Lo punya telinga nggak?"

Brak!

Prilly menahan diri ketika hasil puding buatannya dihempaskan begitu saja ke lantai. Membuat semua pasang mata menatap mereka dengan tajam. Kevin yang berprofesi sebagai kepala koki segera menghampiri keduanya.

"Ada apa ini? Jika kalian ada masalah, selesaikan di luar pekerjaan. Kalian pikir harga bahan untuk puding ini murah?!"

Jena mencebikkan bibir. "Tanya aja sama perempuan nggak tau malu kayak dia."

"Lo kali yang nggak tau malu. Mentang-mentang jabatan lo tinggi di kitchen. Lo bisa nindas karyawan yang nggak lo sukai hanya karena takut kalah saing? Maaf aja nih. Lo iri sama posisi gue? Posisi yang pengen lo incar buat narik perhatian Tuan Alio?"

Plak!

Prilly meringis mendapat sebuah tamparan keras yang dilayangkan bukan dari tangan Jena. Melainkan dari tangan Sang CEO sendiri. Ya, Angga Albert telah menampar pipi kanan Prilly dengan rahang yang sudah mengeras.

Jena tersenyum sinis menatap mengejek ke arah Prilly.

"Ucapanmu keterlaluan! Sudah tinggi hati kamu karena bekerja dengan Anak saya, hm?"

Prilly menghela nafas. "Maaf, Tuan. Saya hanya kesal karena Mbak Jena sudah membuang puding yang saya buat untuk Tuan Alio."

"Pasti Jena tidak sengaja. Kenapa kamu mengatainya seolah-seolah Jena adalah perempuan gatal? Kamu bisa membuatnya lagi. Toh, mau pudingmu gagal sepuluh kali pun. Tetap saja tidak akan mengambil dari hasil gajimu!"

Prilly mengangguk pelan dan pergi ke gudang untuk mengambil bahan membuat pudding. Sebenarnya bisa saja Prilly melawan lebih lanjut karena jujur ia malas sekali jika membuatnya ulang. Memang, proses pembuatannya tidak membutuhkan banyak waktu.

Namun, pasti Alio sudah menunggunya untuk segera menikmati dessert. Haruskah ia memberitahu Alio dulu sembari mendidihkan adonan puding? Tidak. Tidak. Pasti Alio akan menahannya dan membicarakan lebih lanjut obrolan tadi di restoran. Sudahlah, biarkan Prilly fokus membuat puding lagi.

***

Alio berdecak ketika melihat jam menunjukkan pukul 11 siang. Namun, Prilly belum juga menampakkan diri. Sedang apa gadis itu? Apakah membuat dessert harus selama itu? Ketika ia hendak bangkit dari duduknya, suara ketukan pintu kamar membuatnya membatalkan niat untuk menghampiri Prilly. Nyatanya gadis itu sudah menampakkan diri dengan puding yang ia bawa.

"Maaf Tuan tadi saya sempat membantu pekerjaan di kitchen dulu sebelum membuatkan puding"ucap Prilly penuh sesal dan semoga saja kebohongannya tidak diketahui oleh Alio

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maaf Tuan tadi saya sempat membantu pekerjaan di kitchen dulu sebelum membuatkan puding"ucap Prilly penuh sesal dan semoga saja kebohongannya tidak diketahui oleh Alio.

Biarkan saja ia menutupi keburukan Jena. Ia tidak ingin Alio emosi lagi seperti saat dirinya terkena air panas. Daripada ia mendapat amarah dan ejekan dari CEO Hotel tentang perbuatan jelek yang tidak pernah ia lakukan. Lebih baik Prilly menutup rapat. Ia tidak mau ada pertengkaran antara Papa dan Anak. Sudah pasti Papanya akan membela Jena habis-habisan dan tentu Alio membela dirinya.

Boleh Prilly bangga pada Alio? Dia adalah lelaki pertama yang membelanya habis-habisan saat Ayahnya sendiri selalu menyakiti hatinya. Membandingkan-bandingkan membuat Prilly rindu pada Ayahnya. Kira-kira sekarang Ayahnya ada dimana ya?

"Kenapa melamun?"tanya Alio melihat tatapan kosong Prilly.

Prilly menggeleng tegas. "Tidak Tuan."

"Tidak gimana? Jelas-jelas tatapan lo kosong. Apa yang lagi lo pikirin?"tanya Alio penasaran.

Prilly menggeleng lagi. "Saya hanya sedang rindu pada Ayah."

"Ngapain? Lo nggak pantes merindukan orang yang bahkan nggak mau lo ada di dunia ini. Lebih baik lo fokus merindukan orang yang peduli dan sayang sama lo. Gue salah satunya."

Huek

Rasanya Prilly ingin muntah di hadapan Alio. Sebenarnya dia tidak kaget dengan sisi kepercayaan diri Alio. Namun, kali ini terdengar menggelikan. Sekarang Prilly jadi bertanya-tanya.

Apa benar Alio mencintainya?

Lalu, sejak kapan rasa itu ada?

Jika Alio kembali membahas perihal obrolan tadi pagi. Apakah jawaban yang harus Prilly beri?

...

Halo aku update kembali.

Maaf ya beberapa hari ini aku hanya bisa update 2 hari sekali.

Aku usahakan nanti update lagi.

Stay tune pokoknya ya

Jangan lupa like dan komen.

Selamat berbuka bagi yang melaksanakan. Selamat hari kamis

Menghiasi Gabriella [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang