○ 13

700 58 6
                                    

"Prilly kamu kenapa? Mata kamu kok sembab habis pulang kerja? Kamu dimarahin sama Atasanmu?"tanya Nia menatap khawatir pada putrinya saat menyambut kepulangan pada siang hari.

Prilly menggelengkan kepala. "Nggak, Bu. Mata Prilly tadi kena debu di jalan karena terlalu semangat untuk pulang. Berakhir jadi nangis karena ngeliat seseorang bantu perempuan yang di siksa sama Ayahnya."

"Ya allah. Tetapi, perempuan itu nggak papa?"

Prilly tersenyum. "Perempuan itu sudah bebas, Bu. Seseorang yang membantu memberi jaminan kepada Ayahnya agar tidak menganggu Anaknya lagi."

"Syukurlah. Setidaknya dia selamat dari siksaan Ayahnya. Ya sudah, kamu segera mandi. Ibu sudah siapkan makanan kesukaan kamu."

Prilly mengangguk dan berlalu pergi menuju kamarnya. Ia tutup pintu kamar rapat-rapat dan langsung mendudukkan diri di lantai sembari meneteskan air mata. "Maaf. Prilly harus bohong sama Ibu."

Mengenai kejadian dimana Alio mengungkapkan jika ia membayar sejumlah uang kepada Ayahnya. Dari situ, Prilly dibuat menangis sejadi-jadinya. Apalagi, ketika Alio mengatakan tidak akan setuju jika Prilly mengundurkan diri dari pekerjaan.

Katakanlah Prilly kurang bersyukur karena bisa terlepas dari siksaan Ayahnya. Tetapi, hal yang membuatnya jauh lebih sakit adalah kenapa harus Alio? Kenapa harus lelaki yang baginya masih Asing membantunya?

"Sisa uangnya gue pake untuk bayar kehidupan lo yang penuh siksaan ke Ayah lo sendiri. Puas kan sama jawabannya?"

Tidak! Tidak! Tidak!

Prilly hanya bisa menjerit dalam hati mengingat setiap deretan kata yang di ucapkan Alio. Kenapa lelaki itu sampai hati mencampuri urusan pribadinya? Kenapa lelaki itu harus bertindak sebagai pahlawan?

Apa tolakan dari Alio tentang pengunduran dirinya sebagai bentuk pengabdian Prilly karena Alio sudah membeli hidupnya yang penuh siksaan? Tetapi, kenapa harus? Ingin sekali Prilly tidak memikirkan hal yang buruk. Namun, perkataan Alio terus berputar di otaknya.

"Prilly. Kok belum mandi? Kamu tidur?"

Suara ketukan pintu dari Ibunya membuat tangisan Prilly berhenti. Segera ia menghampus bekas air mata dan mengatur nafas. "Iya, Bu. Prilly masih milih baju. Sebentar lagi Prilly mandi."

.

.

"Ibu. Prilly mau tanya"ujar Prilly ketika mereka sudah menikmati makan siang dan duduk di teras berdua menikmati udara dingin karena hujan.

Nia menoleh ke arah Prilly kemudian tersenyum. "Tanya apa, Nak?"

"Kalau misalnya ada orang baik tawarin sejumlah uang untuk Ibu karena ngeliat hidup Iby menderita terus dia beli hidup Ibu yang penuh penderitaan. Apa Ibu akan berterima kasih?"

Nia menaikkan alis. "Jika demi kebaikan dan bisa membuat Ibu terlepas dari penderitaan. Tentu saja Ibu akan berterima kasih."

"Terus, kalau dia minta imbalan dengan  Ibu harus bekerja dengan orang baik itu. Apa Ibu mau?"

Nia mengangguk mantap. "Tentu saja mau. Apalagi jika di gaji. Kalaupun tidak diberi gaji. Selama masih diberi makan dan kehidupan yang layak tidak masalah. Itu sebagai tanda terima kasih karena orang baik sudah membayar apa yang menjadi penderitaan Ibu."

"Tetapi, bahasa orang baik itu kasar. Kenapa harus membeli kehidupan yang penuh penderitaan? Bisa saja dia bantu tanpa pamrih?"

Nia tersenyum simpul. "Nak, di dunia ini tidak ada yang gratis. Ada bayaran setimpal yang harus diperbuat jika di tolong oleh seseorang. Meskipun mungkin kamu pikir kesannya tidak ikhlas. Tetapi, siapa yang tidak tergiur jika bisa terlepas dari penderitaan? Terpaksa atau tidak. Sudah pasti siapa pun akan mengabdi pada orang baik itu karena dari awal kamu sudah menyebutnya orang baik. Tentu saja kehidupan kita akan aman."

Menghiasi Gabriella [ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang