Part 20

11.5K 731 10
                                    

Tidak pernah terbayangkan olehku kalau aku akan merasakan yang namanya ciuman. Untuk pertama kalinya bibir seseorang menyentuh bibirku dan membuat hatiku meledak seperti kembang api. Bian menyentuhkan bibirnya dengan lembut dan hati-hati sementara tangannya menyisir rambutku perlahan seakan ingin menenangkan.

Setelah mengecup beberapa lama, lidah Bian mulai menggelitik bibirku untuk memancing ciuman yang lebih dalam. Saat itu akupun ingin semakin lekat dengannya. Karena pertama kalinya merasakan kasih yang begini hangat, aku membuka bibirku kemudian membiarkan lidah Bian memainkan lidahku. Tak lama kemudian, karena batas di antara kami makin menipis, seluruh tubuhku memanas. Seperti orang mabuk, kepalaku menjadi ringan dan kakiku seperti tidak sanggup berdiri. Untung saja Bian melingkarkan tangannya di pinggangku dengan erat.

Mungkin ini rasanya jatuh cinta. Angin malam yang berhembus dingin sekalipun tidak bisa mengurangi kehangatan itu.

Ketika kami menghentikan ciuman itu, aku sudah terbius sepenuhnya. Bian terlihat jauh lebih tampan dan suasana The Firdaus terasa seperti surga yang sebenarnya.

"Lan, kalau nanti hubungan kita menemui kesulitan atau kamu menemukan sesuatu yang kurang dariku, tolong jangan langsung meninggalkanku ya. Seenggaknya beri aku satu kesempatan untuk berusaha memperbaikinya. Kita berjuang dulu sebelum menyerah." Pinta Bian dengan tatapan permohonan.

Hubungan kita? Dua kata itu membuatku sadar kembali. Sepertinya aku sudah dianggap menyatakan iya karena menerima ciuman tadi. Aku tidak bisa berkedip dan hatiku bergejolak aneh karena menyadari kalau aku sudah punya pacar sekarang. Karenanya butuh waktu lama bagiku untuk membuka mulut.

"Oke. Tapi kakak juga harus gitu. Kalau ada kekuranganku yang kakak ngga sukai, kakak juga ngga boleh langsung pergi." Jawabku akhirnya.

"Tentu. Kita sepakat." Kata Bian dengan bola mata hazel yang terlihat berkilau.

"Kakak harus tahu kalau aku punya banyak kekurangan yang mungkin kakak ngga sukai." Aku memperingati Bian agar tidak menyesal suatu hari nanti.

"Iya iya." Sahut Bian santai. Tanggapan santai itu membuatku khawatir terutama karena Bian segera mengabaikan itu dan menarikku duduk ke meja yang sudah disiapkan. Dia terlihat bergembira dan tidak mendengarkan apapun lagi.

"Kak, aku serius. Aku mungkin mengecewakan kakak."

"Itu baru perkiraanmu nanti. Sekarang kamu ngga mengecewakanku sama sekali. Ayo makan!" Ujarnya sambil menjulurkan sendok berisikan matcha cake ke mulutku.

Akupun membuka mulut dengan patuh dan memakan apa yang diberikan. Ketika potongan matcha cake itu menyentuh lidahku, mau tak mau aku langsung merasa senang. Ini adalah desert favoritku di restoran ini. Darimana Bian mengetahuinya? Aku tidak pernah bercerita pada siapapun.

"Enak kan? Kalau nanti ada banyak pengunjung yang meminta layanan eksklusif dari kamu, aku kasi lagi kuenya. Nanti kalau kita nge-date kamu bisa request mau makan dimana." Komentar Bian sambil tersenyum lebar. Dia memotong cake di depannya kemudian menyuapiku lagi.

"Kakak ngga ikut makan?" Tanyaku.

"Aku ngga begitu suka makanan manis. Cake ini dua-duanya buatmu. Boleh kamu bungkus bawa pulang kalau mau."

"Benar?"

"Bener. Ayo makan."

Aku membuka mulut lagi dan memakan apa yang disodorkan.

Malam itu aku tidak bicara banyak dan hanya mendengarkan Bian bercerita. Dari cerita itu aku baru tahu kalau adik perempuan Bian termasuk ke dalam rombongan sepuluh orang yang aku layani tadi. Fada, adiknya, adalah wanita yang paling pertama menyapaku.

"Kenapa kakak ngga bilang kalau ada adiknya kakak tadi?"

"Itu ngga penting. Cepat atau lambat kamu juga bakal tahu."

Menurutku itu bukan jawaban yang bagus tapi aku tidak mendesak lebih jauh. Karena Bian menyuapi kue lagi, aku akan maafkan kelalaiannya hari ini.

Dia lanjut bercerita tentang apa yang memotivasinya membangun restoran. Dia ternyata lelah dengan omelan orang tuanya sehingga mencoba mencari uang sendiri. Namun, perjalanan itu tidak mulus. "Awalnya semuanya berantakan. Aku bahkan ngga tahu modalnya lari kemana. Pelan-pelan aku belajar dan memperbaiki semua kesalahan yang terjadi. Untungnya ada Om Revan yang sabar membantuku. Kalau tidak, restoran ini pasti sudah tutup." Kata Bian bercerita.

Aku tidak menyangka kalau Bian yang kulihat selalu santai ini ternyata mengalami banyak hal.

"Setelah itu kamu datang dan aku jadi lebih bersemangat." Lanjut Bian.

"Apa hubungannya denganku?" Aku tidak paham apa yang mau dia ceritakan.

"Kamu membuatku termotivasi lagi. Waktu aku dengar dari Azis tentang kondisi keluargamu, aku kagum dengan caramu bersikap. Aku ngga pernah melihatmu mengeluh. Mungkin kamu mengeluh dalam hati tapi kamu ngga membicarakannya dan menyelesaikannya dengan bekerja. Aku bisa lihat kalau kamu ngga gampang membuka diri pada orang lain. Tapi kamu selalu menghargai kebaikan yang diberikan padamu sekecil apapun kebaikan itu. Aku ngga bisa bersyukur semudah itu. Jadi, aku banyak belajar darimu." Jelas Bian.

Sayangnya aku tidak sebaik yang dia pikir. Aku bukannya pandai bersyukur atau mudah menghargai kebaikan orang lain.

"Itu karena ngga banyak yang mau memberiku kebaikan kak." Kataku setengah berbisik. Yang aku ingat dari kehidupanku hanyalah cemoohan. Di sekolah, hanya Ethan yang tetap baik meskipun semua orang membenciku. Untungnya orang tuaku masih menyayangiku. Hanya orang-orang itu yang menghargaiku selayaknya manusia.

"Kamu sebenarnya bisa mendapatkan kebaikan dari hampir semua orang. Itu kalau kamu mau menggunakan apa yang kamu punya sekarang."

"Memangnya aku punya apa?"

"Wajahmu yang ganteng ini. Kalau kamu mau memperlihatkannya. Banyak yang akan menyukaimu. Ketika mereka menginginkanmu, mereka akan sangat baik."

"Itu bukan kebaikan kak. Kebaikan karena menginginkan balasan cuma jual beli."

"Aku juga menginginkan sesuatu darimu. Apa itu kamu anggap jual beli?"

"Ngga. Aku ngga masalah ketika seseorang menginginkan sesuatu dariku. Yang membuatku sedih adalah betapa jahatnya seseorang pada orang yang tidak menguntungkan untuk mereka. Padahal kita semua manusia kan, apa salahnya menjadi sedikit murah hati pada manusia lain. Banyak orang sangat pelit membagikan kebaikan sehingga tidak merasa bersalah bersikap keji pada orang yang dianggapnya tidak menguntungkan. Apa aku harus punya wajah menarik dulu sebelum layak diperlakukan manusiawi? Bukannya itu menyedihkan?"

***

Kencan pertamaku dengan Bian terasa indah. Tanpa sengaja aku mengungkapkan berbagai hal yang tidak pernah aku ceritakan pada orang tuaku sekalipun. Mungkin aku merasa terlalu nyaman sehingga mulutku bercerita begitu saja.

Malam itu aku tidak pulang dengan Azis melainkan diantar oleh Bian menggunakan sepeda motor. Azis pulang mengendarai sepedaku. Sepanjang perjalanan, Bian kembali berceloteh tentang rencananya menjemputku di sekolah tapi aku tolak. Pada akhirnya dia cukup puas ketika aku menyetujui rencananya mengantar jemput dari rumah ke restoran.

Ketika sampai di rumah, aku baru menyadari sesuatu yang penting. Aku belum menyiapkan alasan apapun untuk meminta pindah sekolah pada orang tuaku. Gara-gara Bian banyak menghiburku hari ini, aku jadi lupa. Apa yang harus dilakukan? Aku tidak mau bertemu Ryan lagi!

***

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang