Part 1

35.2K 1.3K 60
                                    

Plak!!!

Telapak tanganku dipukul dengan kumpulan lidi. Rasanya perih sehingga aku meringis. Setelah itu, Ryan menampar-nampar kepalaku hingga aku menunduk pasrah.

"Gue udah bilang kalau gue maunya jus jambu. Bukannya jus tomat. Lo punya telinga ngga? Masa gitu aja ngga inget?" Omel Ryan yang kini menjambak rambutku.

Urgh, rasanya seluruh kepalaku seperti tertusuk jarum.

"Tadi yang jus jambu ngga ada makanya aku beli yang ada aja." Kataku membela diri.

"Jangan sok tahu lo!" Ryan menarik rambutku ke belakang kemudian memegang daguku dengan kasar. Aku terpaksa harus mendongak dan melihat wajahnya yang sedang murka. Wajah tampan itu sangat tidak cocok dengan perangai berandalan ini.

"Besok-besok, balik dulu! Nanya! Ngerti lo!" Bentak Ryan. Aku cuma bisa mengatakan iya dengan suara kecil.

"Kalau lo ngerti, balik sana! Beliin gue jus yang lain! Jangan tomat!" Perintah Ryan. Akupun segera pergi begitu Ryan melepaskanku. Menjauh dari makhluk itu adalah hal yang paling aku inginkan saat ini. Aku keluar kelas kemudian menyusuri lorong menuju kantin.

Sialnya, perjalanan itupun sulit. Di tengah jalan, beberapa orang sengaja menabrak pundakku dengan pundak mereka. Gara-gara itu aku terjatuh ke belakang dan kacamataku terlepas. Untung saja lensa kacamata itu terbuat dari plastik sehingga tidak pecah.

"Jalan tuh pake mata cupu!" Bentak salah satu orang yang tadi menabrakku. Padahal dia yang sengaja tapi dia malah menyalahkanku.

"Dasar cupu jelek!" Tambah yang lain.

"Minggir Cupu!" Salah satu kaki menendangku.

Aku memang terkenal culun, buruk rupa, dan tidak bisa bergaul. Bagi mereka aku mungkin hanya sampah yang mengotori sekolah ini dan tidak selayaknya ada. Mungkin itu juga alasan kenapa tidak ada satupun orang yang mau menolongku meskipun jelas-jelas yang aku alami tidak manusiawi.

Namun aku tidak bisa mengeluhkan nasib. Aku cuma bisa diam, menunduk, kemudian merayap mengambil kacamata yang terjatuh. Setelah itu aku berusaha bangkit meskipun kakiku masih ngilu akibat kejahilan tadi. Dengan tertatih-tatih, aku melangkah lambat menuju kantin. Aku harus menyelesaikan pesanan Ryan agar berandal itu mengurangi siksaannya.

Sepanjang lorong yang aku lalui, siswa-siswi memberikan tatapan aneh kemudian berbisik di antara mereka. Sesekali setelah membisikkan sesuatu di telinga temannya, mereka akan melirikku atau cekikikan. Akupun hanya bisa menunduk lagi karena pipiku memanas.

Setelah selesai melaksanakan mandat dari Ryan, akupun kembali harus menghadapi cowok arogan itu.

"Ini." Aku memberikan pesanannya.

Setelah merampas apa yang aku bawa dengan kasar, Ryan bicara dengan penuh penghinaan, "Sana lo pergi! Gue jijik liat muka lo."

Penghinaan ini sudah biasa sehingga aku hanya menurut tanpa melawan. Kadang kalau keterlaluan, aku hanya bisa menyembunyikan diri di tempat sepi kemudian menangis sendiri.

Untuk kali ini, karena Ryan akhirnya bosan mengerjaiku dan sibuk dengan jusnya, aku tidak mau berada di area pandangannya. Kalau perlu aku ingin menghindar dari area pandangannya selamanya. Sayangnya itu tidak mungkin. Setelah meratapi apa yang aku alami, aku melangkah ke bangku di pojok belakang.

Tempat itu adalah tempat yang layak bagi seseorang sepertiku yang ditolak semua orang. Di bangku itu, aku tidak akan mengganggu pandangan mata teman-teman sekelasku.

Berbeda dengan teman-temanku yang sibuk mengobrol satu sama lain, aku hanya ditemani buku yang perlu dipelajari hari ini. Sejak bersekolah aku selalu sendiri karena cukup bahagia dengan kesendirian itu. Aku tidak menyukai banyak orang dan lebih banyak orang tidak menyukaiku. Itu tidak bisa disalahkan karena aku tidak pandai bergaul.

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang