Part 27

8.9K 712 75
                                    

Aku pasti sudah gila ketika tadi berani memarahi Ryan. Orang kejam ini seharusnya tidak boleh diganggu karena dia adalah sumber bencana. Sialnya, setelah tiga hari meladeni banyak pelanggan, aku sepertinya menjadi terlalu terbiasa mengobrol dengan orang lain. Sifat terpendamku banyak dibangkitkan dan akupun menjadi lebih cerewet.

Sekarang aku harus menghadapi efek kecerewetanku ini. Ryan kelihatannya tidak senang atas apa yang aku katakan.

"Kenapa lo peduli banget sama dia? Apa kalian benar pacaran? Terus cowok yang main ke rumah lo itu siapa?" Tanya Rian beruntun.

Ada apa dengan orang ini? Bukannya sadar atas apa yang dia lakukan, dia malah kembali membuat tuduhan yang tidak-tidak.

"Aku ngga pernah pacaran dengan Ethan. Bukannya kamu yang membuat gosip itu?"

Jawabanku itu tidak mengurangi kekesalan Ryan sama sekali. Dia menarik lenganku dan membawaku keluar kelas. Ketika Dimas dan Ergi terlihat mau ikut, Ryan malah melarang. "Kalian di sini aja. Gue mau ngobrol berdua sama dia."

Ketika Ryan menyeretku keluar, aku memaki diriku berkali-kali karena tidak bisa mengontrol mulut. Meskipun begitu, jauh di dalam lubuk hatiku aku merasa puas karena bisa menumpahkan kekesalan yang selama ini hanya aku simpan dalam hati. Aku masih takut pada hukuman Ryan setelah ini namun aku tidak menyesal mengatakan apa yang aku katakan tadi.

Setelah sampai di ujung lorong sepi di dekat loker, Ryan menahanku di tembok dan menatapku lekat-lekat. Aku hanya bisa menelan ludah dan menghindari pandangannya.

"Lihat gue baik-baik." Perintah Ryan tegas. Akupun terpaksa menoleh ke arahnya. Fokus pandanganku aku arahkan ke titik di antara alis orang itu agar tidak terlalu terintimidasi.

"Apa kayak gitu pandangan lo ke gue? Jahat? Ngga punya hati nurani? Brengsek?" Tanyanya dengan gaya beruntun seperti sebelumnya.

Aku ingin sekali menjawab iya untuk semua pertanyaan itu namun aku segera menahan lidahku. Logikaku sudah kembali sehingga ketakutanku juga kembali. Aku langsung ingat kalau yang terpenting di dunia ini adalah menyelamatkan diri sehingga yang bisa aku lakukan hanya menutup mulut rapat-rapat. Jangan pancing kemarahan iblis ini!

Melihatku yang diam selama beberapa lama, raut wajah Ryan berubah. Matanya menunjukkan cahaya sendu dan dia terlihat bersedih. Karena tidak pernah melihat ekspresi luar biasa ini di wajah Ryan, aku bengong sejenak. Berandalan ini ternyata bisa sedih juga.

"Gue mesti gimana? Gue mesti gimana biar lo ngga menilai gue seburuk itu?"

"Huh?" Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Kenapa orang ini jadi bipolar? Sebentar jahat, sebentar baik lagi. Mood swing ini terlalu ekstrim untuk bisa aku pahami. Apa yang sebenarnya terjadi tiga hari ini sehingga Ryan jadi aneh?

"Gue udah ngga memperlakukan lo buruk kan? Kenapa lo masih menilai gue seburuk itu? Apa maaf gue belum cukup?" Tanya Ryan dengan wajah sedih seakan-akan aku tidak memperlakukannya adil.

Akan tetapi masalahnya bukan itu.

"Apa gunanya kamu ngga lagi memperlakukanku buruk kalau sikapmu ngga berubah sama sekali? Kenapa kamu masih aja suka menyiksa orang lain?" Aku bertanya balik.

"Kalau lo ngga suka gue nyuruh-nyuruh Ethan, gue bakal berhenti. Asalkan lo bener ngga pacaran sama dia, akan gue pertimbangkan."

Sekali lagi aku perlu mengatakan kalau masalahnya bukan itu. Lama kelamaan aku jadi gemas karena Ryan tidak paham sama sekali.

"Yan, apa kamu ngga merasa kasihan kalau melihat orang lain kesakitan? Pernah ngga kamu kasihan ketika memukuliku dulu? Apa kamu ngga tersentuh makanya bisa sekejam itu pada orang lain?"

"Gue nyesel memperlakukan lo kayak gitu. Jadi kasi gue kesempatan buat menebusnya. Gue akan lakukan apapun asalkan lo ada di deket gue."

"Kalau sama Ethan, apa kamu ngga nyesel?"

"Buat apa nyesel? Dia bukan siapa-siapa."

Ah, bukan siapa-siapa. Aku akhirnya mendapat sedikit pencerahan. Jadi Ryan tidak merasa bersalah jika memperlakukan golongan 'bukan siapa-siapa' dengan semena-mena. Akupun adalah golongan itu sehingga menerima begitu banyak perlakuan buruk tanpa mendapat rasa kasihan sama sekali. Sekarang akhirnya aku paham kenapa.

"Bukannya aku juga bukan siapa-siapa? Kenapa kamu tiba-tiba menyesali apa yang kamu lakukan?" Tanyaku. Karena suatu hal misterius, orang ini tiba-tiba merubah caranya memperlakukanku dan bahkan minta maaf. Aku jadi penasaran apa alasannya.

"Ngga. Lo adalah orang yang penting. Sebelumnya gue buta jadi ngga ngerti apa yang gue lakuin.Gue rasa gue udah jatuh cinta sama lo." Ryan bicara sambil menyentuh pipiku.

Pernyataan cinta itu membuatku terpana sehingga aku tidak bisa bereaksi. Ketika kedua mata senja Ryan terlihat berkilau lembut, kepalaku malah penuh dengan kekacauan.

Jadi Bian tidak cemburu buta ketika mengatakan Ryan menyukaiku? Bagaimana caranya orang kejam ini bisa jatuh cinta padaku, orang yang selama ini selalu membuatnya emosi? Apa iblis ini benar bisa mencintai seseorang? Pertanyaan-pertanyaan itu dan puluhan pertanyaan lain memenuhi pikiranku dalam sekejap. Kejutan ini terlalu kuat sehingga tidak bisa kupercaya.

"Ngga mungkin! Aku kira kamu membenciku." Kataku akhirnya. Aku memang tidak bisa percaya meskipun Ryan mengucapkannya dari mulutnya sendiri. Perubahan sikap ini terlalu drastis.

"Kenapa ngga mungkin? Kalau gue tahu dari awal kalau lo semanis ini, gue akan jatuh cinta sejak awal. Gue ngga akan kasar. Sayangnya lo terlalu pinter nutupin muka lo." Jawab Ryan ringan.

Kenyataan yang terjadi ternyata tidak rumit. Ryan hanya bersikap baik pada orang yang dirasanya pantas untuk diperlakukan baik. Aku yang awalnya adalah golongan 'bukan siapa-siapa' langsung naik derajat dengan dramatis gara-gara dia jatuh cinta pada wajahku. Pantas saja setelah melepaskan kacamataku beberapa hari yang lalu dia langsung melepaskanku begitu saja. Pantas saja dia tiba-tiba datang ke rumah dan minta maaf. Kebaikan hati Ryan ini terlalu luar biasa untuk bisa kuterima.

"Aku udah punya pacar." Kataku singkat. Setelah mengetahui semuanya, aku tidak punya kalimat lain yang ingin aku ucapkan.

"Lan, gimana kalau lupain cowok lo itu dan jadian sama gue aja? Gue janji ngga akan nyakitin lo dan apapun yang lo mau akan gue penuhi. Kalau lo ngga percaya, gue bisa buktiin. Yang penting lo mau kasi gue kesempatan."

"Ngga." Sahutku tanpa suara keras dan nada datar. Pembicaraan ini sudah tidak ada gunanya.

"Apa bagusnya cowok lo itu ketimbang gue? Gue bisa berubah jadi yang lo mau."

"Semuanya. Dia bukan pembully dan mau menghargai siapapun meskipun orang itu terlihat jelek dan lusuh. Kalau ada masalah, dia ngga pake kekerasan dan memilih untuk mendengarkan terlebih dulu. Dia ngga pernah maksa, dia ngga angkuh, dan dia ngga kasar. Berlawanan dengan kamu yang ngga punya perasaan."

***

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang