Part 19

10.5K 719 10
                                    

Aku menoleh ke arah Bian dengan wajah penuh pertanyaan.

"Nanti." Jawabnya pelan. Dia kemudian mengatur posisi untuk berfoto dan memintaku untuk mengikuti kemauan keramaian itu. Tanpa banyak protes, aku menurut. Mereka mengambil foto beberapa kali sebelum puas dan aku boleh pergi.

Setelah meninggalkan semua orang itu, barulah aku bisa merasa tenang. Ternyata aku memang tidak cocok melakukan pekerjaan yang berurusan dengan banyak orang seperti ini. Aku tidak menghabiskan banyak waktu ketika meladeni mereka namun tenagaku seperti terkuras habis. Karena kelelahan, aku duduk di belakang meja kasir sambil merebahkan punggung.

"Ada apa Lan? Capek banget kayaknya." Komentar Riska. Restoran mulai kedatangan banyak pelanggan dan dia baru selesai membawakan pesanan.

"Aku kayaknya lebih cocok jadi pencuci piring aja." Jawabku.

"Ngga usah banyak mikir. Mending bantuin aku beresin meja. Kali aja bisa bikin lupain stress" Kata Riska tertawa kecil sambil menunjuk ke arah salah satu meja yang baru ditinggalkan.

Benar juga. Aku belum saatnya beristirahat. Masih banyak yang perlu dikerjakan karena sudah ramai. Akupun bangkit, mengambil lap dan kontainer piring kemudian berjalan ke arah meja yang ditunjuk. Sambil membersihkan meja, aku memperhatikan keramaian di sekitarku. Banyak di antara mereka memberikan lirikan tajam ke arahku dan bahkan ada yang tersenyum padaku dengan terbuka. Sayangnya semua pandangan itu membuatku merasa tidak nyaman. Meskipun begitu, aku tidak punya pilihan selain tersenyum balik agar terlihat ramah.

Tidak butuh waktu lama untuk membersihkan meja kemudian membawa semua piring kotor ke belakang. Aku juga mengerjakan lebih cepat karena tidak tahan diperhatikan oleh banyak orang. Sesampainya di belakang, aku menyerahkan piring-piring itu pada pencuci piring yang baru bergabung dengan kami sejak beberapa hari yang lalu.

"Huda, aku taruh di sini ya." Kataku.

"Oke." Sahut Huda tanpa menoleh. Dia sibuk menyabuni piring-piring kotor. Melihatnya, aku menghela nafas kemudian kembali ke depan. Aku perlu membantu Riska dan yang lain untuk membawakan pesanan.

Malam itu aku mulai merasakan beban yang harus aku hadapi. Teman-teman Bian yang sangat ramah dan bersahabat selalu memfokuskan pandangannya ke arahku setiap aku datang. Ada juga yang sengaja mengajak mengobrol agar aku tinggal lebih lama. Namun, aku perlu mengerjakan hal lain juga sehingga aku terpaksa menolak mereka dengan sopan. Ketika melayani pelanggan-pelanggan baru yang jumlahnya sepertinya tiba-tiba meledak, mereka juga meminta foto dan menyorotku kemanapun aku pergi. Gara-gara itu, aku harus berinteraksi dengan manusia yang lebih banyak. Dalam waktu singkat aku tidak sanggup lagi kemudian pergi ke loker untuk menenangkan diri. Keringat dingin mulai membasahi pelipisku. Semua sorot mata yang mengarah ke arahku terasa menakutkan.

"Apa sesusah itu bertemu dengan banyak orang?" Tanya Bian yang tiba-tiba muncul. Sepertinya dia baru menemukanku di tempat ini.

"Aku udah bilang kan kak? Aku kesulitan kalau berurusan dengan banyak orang." Jawabku.

"Mm. Kelihatan. Aku kira ngga separah ini." Kata Bian. Dia mendekat ke arahku kemudian menyisir rambutku yang agak basah karena keringat.

"Gimana kalau aku kembali mencuci piring aja kak?"

"Gimana kalau kamu mencoba dulu? Meskipun kesulitan, kelihatannya kamu punya potensi. Mungkin kamu bisa menghilangkan traumamu terhadap manusia perlahan-lahan. Selain itu, banyak menyukai sikap kalem dan sopanmu itu."

"Tapi rasanya berat banget." Aku sebenarnya tidak masalah berada di tengah banyak orang asalkan mereka tidak memperhatikanku. Namun ketika mereka menatap ke arahku, kengerian langsung menyerang.

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang