Kalau boleh jujur, tipe seperti Ryan ini adalah yang paling aku benci. Aku tidak suka orang yang hanya menilai seseorang dari fisiknya tanpa berusaha mengenal lebih dalam daripada itu. Wajar jika seseorang kagum atas penampilan seseorang atau merengut ketika melihat seseorang yang jauh dari kata rupawan. Namun, setiap manusia berhak diperlakukan manusiawi seperti apapun penampilan luar mereka.
Sekarang, setelah mengetahui kalau orang yang suka membullyku ini ternyata jatuh cinta pada penampilanku, aku tidak lagi takut. Aku mengungkapkan semua kekesalanku tanpa berpikir. Jika Ryan bertindak kasar karena tersinggung, itu bisa jadi alasan untuk menolaknya. Jika dia secara ajaib mau tetap sabar, itu akan lebih baik. Artinya aku masih punya kesempatan untuk mengeluhkan perilakunya yang lain.
Toh aku tidak berbohong. Apa yang aku katakan sama seperti apa yang aku pikirkan. Aku memang merasa Bian lebih baik dari sudut manapun. Meskipun orang seperti Ryan adalah fantasi banyak orang yang menginginkan kisah percintaan romantis, aku yang sudah mengalami banyak drama kehidupan tidak sanggup untuk menambah satu manusia yang akan menghasilkan lebih banyak drama. Ketika berhasil mengubah makhluk brengsek setelah perjuangan cukup lama, seseorang mungkin merasa bangga, namun aku sangat malas untuk memperjuangkan itu.
Aku juga tidak mau menjadi korban Stockholm Syndrome yang jatuh cinta pada orang yang menyiksa mereka. Yang aku inginkan adalah keluar dari penderitaan yang aku alami. Dengan kata lain, yang aku perlukan adalah perginya sumber penderitaan sejauh mungkin.
Setelah mendengar apa yang aku katakan, Ryan terlihat patah hati. Wajahnya dipenuhi kesedihan dan dia mungkin tidak menyangka kalau aku menilainya sekejam itu. Namun, apa yang dia harapkan? Setelah satu setengah tahun diinjak-injak begitu kejam aku akan memaafkan dengan mudah? Apa dia berharap aku meniru Tuhan yang Maha-pemaaf?
"Ngga punya perasaan?" Ryan mengulang apa yang aku katakan dengan nada suara penuh syok.
"Iya. Kalau kamu masih punya perasaan, kamu ngga akan tega menyiksa orang lain meskipun orang itu bukan siapa-siapa. Kalau kamu belajar menjadi sedikit lebih berperasaan, kita mungkin bisa berteman. Tapi ngga akan lebih dari itu. Aku ngga bisa menjamin wajahku akan selamanya kamu sukai. Aku takut suatu hari kamu akan menyiksaku lagi kalau wajahku kembali jelek. Jadi, ini bukan masalah kamu sanggup memenuhi apa yang aku inginkan atau ngga, tapi masalah aku akan tetap punya wajah yang kamu sukai atau ngga." Jelasku.
Ryan menatapku penuh kebingungan. Apa penjelasanku terlalu rumit? Aku tidak pandai berbicara dengan orang ini, tidak selihai Dimas dan Ergi.
Dengan Ryan yang menahanku di sini, aku tidak bisa kembali ke kelas. Bel masuk kelas berdering di tengah keheningan yang tercipta di antara kami berdua namun Ryan sepertinya tidak berniat untuk menghentikan diskusi ini. Aku sebenarnya tidak mau menambah keluhanku tentangnya namun kalau dia masih menahanku, aku rasa aku mungkin akan memaki.
Setelah menunggu dengan sabar, Ryan masih tetap tidak menambahkan kalimat apapun. Dia malah menjadi semakin aneh dan menjatuhkan keningnya di pundakku.
"Yan!" Panggilku dongkol.
"Biarin gue kayak gini sebentar, please."
***
Author POV
Ryan baru merasakan sedikit ketenangan hari ini setelah menjatuhkan kepalanya di pundak Fadlan. Tiga hari terakhir adalah hari-hari bergelombang untuknya karena pikirannya hanya bisa memikirkan satu objek. Yang terbayang di kepalanya hanya Fadlan yang berurai air mata dengan tubuh yang dipenuhi lebam. Bayangan itu berulang muncul dan lama kelamaan semakin menjurus ke arah romantis.
Dia benar-benar sudah tersihir dan jatuh cinta dengan tidak berdaya. Sialnya, pengalaman pertama ini terasa brutal karena orang yang membuatnya jatuh cinta sudah memiliki tambatan hati. Ditambah lagi dengan sejarah hubungan mereka yang buruk, dia tidak punya kesempatan sama sekali.
Sayangnya, meskipun orang di depannya itu bicara dengan kejam, dia tidak lagi bisa marah. Walaupun tidak marah, bukan berarti dia setuju dikatai tidak berperasaan. Perasaannya jelas-jelas ada di hatinya dan bergejolak seperti ombak. Sekarang saja dia ingin merangkul orang di hadapannya lebih dekat untuk mengobati kerinduannya yang begitu besar.
Jatuh cinta terjadi dalam sekejap namun penderitaan karena cinta itu berlangsung begitu lama. Ryan sebenarnya tidak mampu menghadapi perasaannya ini.
"Yan, aku mau ke kelas." Kata Fadlan dengan suara datar.
"Jangan, lo belum boleh pergi."
Sikap keras kepala itu akhirnya mengundang dorongan sekuat tenaga dari Fadlan. Akan tetapi dia tidak berhasil. Ryan memegang erat kedua tangannya dan mempertahankan posisi mereka.
Setelah dorongan itu, Ryan mengangkat wajahnya dan memandangi Fadlan yang menatapnya nanar. Wajah yang terlihat dongkol itu tetap saja menawan. Karena menawan, jantung Ryan berdetak kacau dan dia ingin melekat semakin dekat.
Di tempat tersembunyi itu, Fadlan terjepit antara tembok dan Ryan, dengan Ryan yang semakin rapat. Meskipun berusaha melawan, perlawanan Fadlan tidak berarti sama sekali. Sejak awal selalu seperti itu. Jika Ryan ingin melakukan sesuatu, Fadlan tidak pernah bisa berkutik.
Melihat kalau ada hal yang bisa dia lakukan untuk menenangkan hasrat di dadanya, Ryan semakin berani. Wajahnya mendekat ke arah Fadlan yang kini kalang kabut hingga kilau mata obsidian dari orang yang membuatnya jatuh cinta terlihat semakin jelas. Nafas hangat keduanya bercampur dan entah kenapa udara di sekitar mereka terasa memanas.
"Lo manis banget." Kata Ryan setengah berbisik.
"Lepaskan aku."
"Ngga."
Ryan tidak akan melakukan itu. Untuk apa melepaskan seseorang yang sudah ada di tangannya? Kalau Fadlan dia lepaskan, siapa yang akan menanggulangi perasaan yang sudah membuatnya menderita selama tiga hari terakhir ini?
Karena terbiasa mendapatkan apapun yang dia inginkan, Ryan tidak banyak kepedulian lagi. Dia mendekat ke pipi Fadlan dan mencium aroma yang menyegarkan. Entah kenapa segala hal tentang orang ini menjadi menarik sekarang. Kulit yang dia sentuh terasa lembut, wajah yang dia lihat begitu tampan, dan terakhir aroma ini.
Dia baru akan mengecup pipi orang yang berdiri di depannya ketika makian beruntun terdengar.
"Brengsek, penjahat, bangsat!!!" Fadlan kehilangan semua sopan santunnya. Dia sedang bersiap melepaskan isi kebun binatang ketika Ryan membatalkan niat dan menarik kepalanya lagi.
Di hadapan Ryan, mata Fadlan sudah memerah karena amarah dan dia terlihat seperti kelinci yang dipojokkan. Kembali melihat pemandangan itu, Ryan melepaskan pegangannya dan mundur.
"Kenapa kamu selalu saja memaksa dan membully orang?" Bentak Fadlan dengan dada naik-turun.
"Ini yang paling aku benci darimu. Jangan mengharapkan apapun dariku karena aku ngga pernah menyukaimu sama sekali. Yang paling aku inginkan adalah membuatmu mejauh dari hidupku selamanya." Fadlan melanjutkan kegusarannya dan kemudian melarikan diri setelah berhasil lepas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
RYVAN 1 - Ugly Duckling
RomanceSeme pembully vs Uke culun vs seme gentleman Cerita tentang orang culun yang menjadi ganteng setelah bertemu tambatan hati yang baik. Sayangnya gara-gara glowing up, orang yang dulu suka membullynya malah mengejar-ngejarnya. Catatan: author nulis u...