Part 29

8.1K 589 5
                                    

Terlalu banyak yang berubah dalam waktu beberapa hari ini. Hubunganku dengan Bian, pekerjaanku, Ryan, pandangan di sekitarku, dan bahkan aku sendiri juga sudah berubah.

Ketika berjalan menuju kelasku, aku bisa melihat kalau para siswa banyak menoleh ke arahku dengan cara pandang yang bisa dikatakan terlalu perhatian. Sekarang mereka lebih mirip para pelanggan The Firdaus yang memandangku dengan hangat dan penuh rasa ingin tahu. Meskipun aku sedang bersungut-sungut karena emosi, mereka sepertinya tidak terganggu dan terus memandangi baik-baik.

Sesampainya di kelas, Bu Dilla sudah hadir sehingga aku perlu mengetuk pintu dengan sopan. "Pagi bu. Maaf saya terlambat." Kataku selesai mengetuk pintu.

"Nama?" Tanya Bu Dilla ringan. Sepertinya guruku ini sedang toleran. Biasanya aku akan langsung dimarahi.

"Fadlan, Bu."

Setelah mendengar jawabanku, Bu Dilla melebarkan mata ke arahku. "Bisa ulangi lagi?"

"Fadlan, bu."

Bu Dilla meletakkan pulpen dan dokumennya kemudian mendekat. Guruku ini tiba-tiba menelitiku baik-baik seperti memperhatikan bakteri di bawah mikroskop.

"Kamu beneran Fadlan?" Tanya Bu Dilla yang akhirnya mengundang tawa.

Aku yang sebenarnya masih dongkol gara-gara Ryan, tidak tahu harus menanggapi ini dengan marah atau ikut tertawa. Syukurnya Bu Dilla segera menarik ucapannya.

"Maaf Lan, ibu cuma kaget. Yang tadi jangan diseriusi. Ngomong-ngomong, kamu udah baikan?"

"Udah, Bu."

"Ya udah, langsung duduk aja."

Untung saja Bu Dilla tidak bertanya aku darimana. Dengan lega aku kembali ke tempat dudukku. Setelah duduk, aku menoleh ke arah Ethan yang memelototiku tanpa berkedip. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi sulit.

Tak lama setelah aku duduk, Ryan muncul. Kami bertemu mata beberapa saat sebelum aku berpaling. Aku tidak bisa memandangi Ryan lama karena dia terlihat seperti orang yang ditelantarkan. Aura pangeran angkuh yang biasa dia pancarkan kini tidak terlihat sama sekali dan digantikan wajah pilu. Dia jelas-jelas sangat kecewa.

Tadi ketika memarahinya aku benar-benar emosi sehingga apapun bisa terucap. Namun, sekarang ketika emosiku lenyap, aku mulai berpikir apakah aku bicara keterlaluan. Aku memang membencinya tapi ketika melihat ekspresi patah hati itu, aku merasa kalau mungkin lebih baik jika menggunakan kata-kata yang tidak terlalu ketus.

"Ryan, kenapa terlambat?" Tanya Bu Dilla.

"Tadi ke belakang, Bu." Jawab Ryan.

"Kamu bisa duduk."

Bu Dilla kelihatannya memang sedang toleran. Tidak biasanya guruku ini memahami keterlambatan. Anak-anak yang lain sepertinya juga merasakan hal yang sama. Mereka menoleh satu sama lain, berkomunikasi dengan mata mereka.

Alasan toleransi itu akhirnya muncul beberapa saat kemudian. Rupanya weekend minggu depan akan diadakan studi tour ke sebuah kebun teh. Tidak ada biaya yang perlu dikeluarkan dan semua siswa diwajibkan ikut. Kami akan menginap satu malam dan akan ada banyak acara yang membangun kerjasama dan ketangkasan. Bu Dilla sepertinya sangat menyukai kegiatan itu dan menyemangati kami dengan gembira.

Aku perlu memberi tahu Bian soal acara ini. Dia perlu memikirkan apa yang perlu dilakukan pada pelanggan yang sudah membooking room eksklusif pada dua hari itu.

***

Kelas berakhir ketika bel istirahat berbunyi. Setelah Bu Dilla keluar kelas, Ethan langsung mendekatiku. Ethan sangat terkejut karena tidak bisa langsung mengenaliku dan mempertanyakan banyak topik. Karena suatu hal, tidak ada yang mengganggu kami berdua sehingga kami punya waktu mengobrol.

Ketika Ethan bertanya apa yang terjadi sehingga aku berubah sedrastis ini, aku hanya menjawab kalau ini adalah permintaan pacarku. Dia tidak suka pada kacamataku yang lama sehingga aku diminta menggantinya. Aku tidak menceritakan tentang The Firdaus karena Bian melarangnya. Kata Bian, biar saja orang lain menduga-duga apakah aku Allan atau bukan tapi jangan pernah memberi jawaban pasti. Agar terasa misterius dan membuat penasaran.

Begitu mendengar kalau aku punya pacar, Ethan menjadi semakin cerewet dan bertanya seperti apa orangnya, bagaimana kami bertemu, dan lain sebagainya. Aku menjawab hanya beberapa pertanyaannya kemudian bertanya balik tentang apa yang terjadi tiga hari terakhir. Seperti yang aku duga, Ethan dijadikan pesuruh kelas ketika aku tidak ada. Namun, syukurnya tidak ada yang membullynya lebih daripada itu.

"Ryan ngga seperti biasanya. Waktu kamu ngga ada, dia sering badmood." Bisik Ethan di telingaku ketika Ryan dan rombongannya keluar dari kelas.

"Bukannya dia emang sering badmood?" Kataku berkomentar.

"Kali ini beda. Dia sering noleh ke belakang dan terus-terusan nanyain aku soal kamu. Aku sampe ngga tahu lagi harus cerita apa ke dia."

Aku mencelos mengetahui itu. Obsesi Ryan berubah namun aku tidak tahu apakah perubahan ini akan menguntungkanku atau malah sebaliknya. Namun, karena sementara ini dia tidak lagi keji seperti biasanya, aku anggap saja ini masih menguntungkan.

Di tengah obrolanku dengan Ethan, Sinta tiba-tiba datang dengan langkah cepat kemudian menarik kerah bajuku. Cewek barbar itu mengejutkanku sehingga aku hanya bisa menatapnya dengan penuh pertanyaan.

"Lo jawab jujur! Lo bukan Allan kan? Ngga mungkin kan Allan itu elo." Kata Sinta dengan ekspresi wajah seperti orang yang memohon agar aku berkata tidak.

"Berhenti ngga sopan kayak gini." Ujarku dongkol sambil melepas pegangan Sinta pada kerah bajuku.

"Allan katanya kalem tapi ramah. Ngga mungkin autis dan sinis kayak elo. Lo pasti bukan Allan gue." Gerutu Sinta pada dirinya sendiri. Aku semakin tidak paham pada cewek ini. Apa yang sebenarnya yang dia pikirkan?

Sebelum aku memahami apa terjadi padanya, Sinta berbalik pergi secepat ketika dia datang. Tidak memberiku kesempatan untuk mengerti sama sekali.

"Kenapa sih dia?" Gerutuku. Aku ingin mengeluh lebih jauh tapi hari ini Sinta tidak bossy seperti biasanya sehingga niatku mengeluh menghilang.

"Dia suka sama Allan."

"Bukannya dia ngejar-ngejar Ryan?"

"Dia masih ngejar-ngejar Ryan. Katanya Ryan itu calon pacar tapi Allan itu idolnya."

Keunikan jalan pikiran Sinta terlalu rumit untuk aku pahami sehingga aku tidak melanjutkan pembicaraan itu. Karena membahas tentang Allan, aku jadi penasaran pada satu orang yang sudah dua kali membooking room eksklusif dan berniat menggangguku dengan rutin.

"Ngomong-ngomong, Adam orangnya gimana? Kamu udah tahu dia sejak SMP kan?" Tanyaku pada Ethan.

"Adam? Apa dia masih deketin kamu? Duh, jangan mau sama dia! Kamu mending tetap sama pacarmu aja. Adam itu playboy. Mantannya banyak." Jawab Ethan serius.

"Oh." Sahutku. Apa itu alasannya kenapa Adam tidak masalah diduakan? Karena dia playboy?

"Bukan cuma itu. Dia juga suka nikung pacar orang. Gara-gara itu dia banyak dimusuhin cewek-cewek. Pokoknya jangan percaya akal bulusnya. Jangan sampai kamu putus sama pacar yang bener dan malah sama dia."

Sekali lagi aku mengatakan 'oh'. Adam ternyata lebih menakutkan daripada yang aku bayangkan.

"Tapi aku dengar kalau dulu dia ngga kayak gini. Sejak mamanya meninggal dan papanya nikah sama selingkuhannya, Adam jadi berandalan."

***

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang