Sore hari sebelum Bian menjemput, aku masih memikirkan nasibku besok. Namun, ketika melihat wajah Bian, aku langsung lupa dengan study tour itu dan ingat akan apa yang dikatakan Dimas sebelumnya. Hatiku langsung mencelos dan kekecewaan mulai memasukiku.
"Kenapa Lan?" Tanya Bian. Aku mungkin tidak bisa menyembunyikan emosi yang sedang mengganggu.
"Ada yang mau aku tanyakan kak." Aku tidak mau hasutan Dimas mempengaruhiku jadi aku harus segera menyelesaikannya.
"Aku juga mau menceritakan sesuatu. Gimana kalau kita omongin malam ini? Waktunya lebih panjang dan kamu bisa tanya lebih banyak."
Itu ide bagus tapi hatiku terlanjur tidak nyaman. Bagaimanapun aku tidak mau percaya kalau Bian melukai mental seseorang separah yang dikatakan Dimas. Aku ingin segera mendapat jawaban.
Bian sepertinya bisa membaca ketidaknyamananku dan menyentuh kepalaku dengan kelembutannya yang biasa. "Apa ada yang mengganggumu?"
Aku mengangguk. "Ada yang bilang kalau kakak membully seseorang sampai-sampai orang itu nyoba bunuh diri." Kataku pelan sambil menunduk dan memainkan jari-jari tanganku. Aku tidak berani melihat wajah Bian, takut mendengar jawaban yang mengecewakan.
Mendengar yang aku tanyakan, Bian menghela nafas berat. Dia kemudian berpikir beberapa saat lalu memelukku erat. Kali ini pelukannya terasa berbeda karena dia menenggelamkan wajahnya di pundakku. Aku merasa dia seperti bersandar padaku, tidak seperti biasanya.
"Aku memang pernah bersalah pada seseorang. Sampai sekarang aku masih berusaha memperbaikinya. Tapi waktu itu aku sangat bodoh dan sekarang menyesalinya. Nanti malam akan aku ceritakan dengan lengkap. Tapi tolong jangan langsung pergi kalau kamu kecewa ya. Beri aku satu kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Tanggapan Bian itu membuatku semakin mencelos. Mungkinkah itu benar? Bagaimana kondisi orang itu sekarang? Apa yang dilakukan Bian sampai efeknya sejauh itu? Apa ada alasan kenapa Bian sampai bersikap seperti itu? Banyak pertanyaan memenuhi kepalaku dan semakin membawaku terjerumus ke dalam kesedihan.
***
Malam itu aku kembali bertemu dengan Adam. Orang ini semakin rajin datang dan selalu punya cara untuk mengobrol. Terakhir kali dia mengatakan kalau baru putus dengan dua pacarnya di sekolah lain karena tidak cocok lagi. Dia bahkan tidak menyembunyikan petualangannya di depanku.
Ketika kutanya kenapa menceritakan itu padaku, dia menjawab, "biar kamu tahu kalau aku jomblo sekarang. Nanti kalau kita pacaran, aku akan cuma punya kamu aja."
Siapa juga yang bisa menjamin itu. Dan siapa juga yang berencana pacaran dengannya.
"Mau pesan apa kak?" Tanyaku pada Adam begitu dia duduk.
"Pesanan yang biasa. Kalau kamu ngga mau yang aku bungkuskan buat kamu, buang aja." Jawabnya.
Aku menghela nafas. Adam selalu membungkuskan sesuatu untukku demi memenuhi kuota belanja. Karena dia tidak pernah mengajak siapapun, semua makanan itu berakhir di tanganku. Pernah dia membuang satu set makanan karena aku menolaknya. Melihat makanan yang berharga dibuang sekejam itu, aku tidak lagi menolak pemberiannya dan membagi makanan itu dengan teman yang sedang mendapat giliran bekerja.
"Oke." Jawabku kemudian memasukkan menu-menu yang sudah kuhafal ke dalam tablet.
"Lan, kenapa hari ini cemberut?" Tanya Adam tiba-tiba.
Orang ini ternyata cukup sensitif. Sejak tadi aku memang gelisah. Aku tidak bisa mengobrol seperti biasa dengan Bian dan kepalaku memikirkan banyak kemungkinan buruk. Entah kenapa aku merasa bodoh dan naif. Namun, itu bukan berarti aku akan membuka diri dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RYVAN 1 - Ugly Duckling
RomanceSeme pembully vs Uke culun vs seme gentleman Cerita tentang orang culun yang menjadi ganteng setelah bertemu tambatan hati yang baik. Sayangnya gara-gara glowing up, orang yang dulu suka membullynya malah mengejar-ngejarnya. Catatan: author nulis u...