49 - perasaan ini kembali

50 12 60
                                    

Annyeong Pingcub🙌🏻

Gimana kabarnya? Baik?

Terimakasih yaa pembacaku.

Sekarang udh 15k aja, gak nyangka bgt!

Semoga hingga sampai end kalian masih ikutin cerita mommy ini!!

Sehat selalu Pingcub!!

😍😍

•••

Sepulang dari pemakaman ayah dari sahabatnya, Bagas benar-benar menepati janjinya untuk bermain bersama kedua adik Talasya.

Rumah yang biasanya sepi, kini menjadi ramai. Talasya memang merasa tidak nyaman setiap kali pulang ke rumahnya sendiri. Namun kali ini, gadis berkepang dua itu juga menikmati permainan petak umpet yang mereka mainkan.

Sebenarnya pemudi itu tidak mau, bahkan bisa dibilang terpaksa ikut. Tetapi lihatlah sekarang,  siapa yang paling menikmati permainan tersebut. Talasya. Melebihi kebahagiaan Bagas.

Lelaki tersebut pun ikut senang melihatnya. Sungguh, entah sejak kapan senyuman manis itu memudar di setiap harinya.

Bagas mendudukkan dirinya di sofa, ruang tengah. Nafasnya memburu tidak karuan setelah temannya itu mendapati dirinya bersembunyi dibalik tirai.

Kini, ia membiarkan Talasya mencari kedua adiknya yang sedang bersembunyi dibawah meja makan. Tidak butuh waktu yang lama bagi dirinya menemukan bocil kesayangannya itu.

Kedua sudut bibir Bagas semakin tertarik dengan tingkah laku gadis itu, yang mengendap-endap berjalan menuju ke arah Asha dan juga Kavin. Kedua tangan mungilnya pun membentuk seperti sedang memegang pistol, yang siap kapan saja menembak mangsanya. Hingga terjadilah.

“Dor! Kalian tertangkap wahai para penjahat.” Talasya bersuara lantang saat memergoki kedua adiknya berjongkok di bawah meja makan.

“AAAA,” teriak keduanya bersamaan sambil berusaha keluar dari sana, dan lari menjauh dari kakaknya itu.

“Hahaha, mau kemana kalian?!” Talasya tertawa keras, lalu berlari mengejar Asha dan Kavin.

Ketiga bersaudara itu memutari Bagas yang duduk di sofa. Membuat mereka semua tertawa bersama. Setelah nafas mulai memburu, Talasya, Asha, dan juga Kavin terduduk lemas di sofa kosong. Ada yang langsung berbaring, dan ada juga yang bersandar, menikmati kelelahan dengan mengatur nafas yang tidak sesuai tempo.

“Coba aja Abang Bagas sama Kakak tinggal disini, pasti kita main terus kaya gini.” Asha bergumam, yang masih bisa didengar oleh kedua anak remaja itu.

“Kakak, kenapa Kakak gak tinggal disini aja? Kenapa Kakak lebih suka tinggal sendirian disana? Padahal disana, ‘kan, sepi. Gak jauh beda sama disini?” Asha mencecar pertanyaan.

Talasya bangkit dari duduknya, menjauh dari sana untuk pergi ke belakang rumah. Ia tidak berniat untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh adik keduanya. Suasana hatinya tiba-tiba menjadi buruk. Entahlah, begitu sensitif untuk seorang Talasya ditanya tentang alasan tersebut.

Asha melirik ke arah Bagas, pemuda itu menggaruk kepalanya. Matanya seolah-olah menatap plafon ruangan dan tidak mendengar apa yang baru saja adik Talasya katakan. Namun ia akan tetap bertanya.

Two loves in one soulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang