Tiga jarum jam berporos mengelilingi waktu. Berdetak setiap saat, setara debar jantung dalam rusuk milik lelaki yang berlari seolah tengah memungut menit.Lembayung tergores kelam di langit sore. Deru bising mobil tersapukan gema dalam dada begitu menyambangi telinga. Usai tungkainya berhenti, senja telah bertepi. Mulailah malam yang sunyi, menurut si lelaki.
Mendongak menatap salah satu hotel megah di kota Jakarta. Ada ragu yang menghadang tatkala satu tungkainya kembali melangkah maju. Diam-diam menelan sejuta bimbang. Irama jarum arloji ikut bersuara sepi detik tungkai menghampiri gedung modern.
Tak terasa langkah telah membawanya sampai di depan pintu bercat putih nomor 345. Gamang dia menatap, sebelum jemarinya mengetuk pintu kayu mahoni tersebut.
Tok tok tok!
Cepat seirama debar jantungnya. Hening mendekap sesaat, dalam koridor sepi seperti hatinya. Sebelum akhirnya pintu bercat putih itu dibuka oleh seorang perempuan—sebagaimana lelaki itu membuka hatinya untuk perempuan itu.
"Ivan?" Helena terkejut saat mengetahui siapa yang mengetuk pintu hotelnya. "Ba-bagaimana ..." Pertanyaannya tersendat. Cepat dia tarik lelaki yang adalah Ivan ke dalam ruangan.
Helena melihat ke kanan dan kiri koridor. Setelah merasa aman tak ada orang, barulah dia menutup kembali pintu.
"Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?" Helena bertanya. Manik coklatnya menatap lekat lelaki yang sedang tersenyum kepadanya.
"Aku tak sengaja melihatmu memasuki hotel ini satu jam yang lalu," jawab Ivan. Meski terkesan masam, senyuman yang mengembang di bibirnya bertambah dua senti.
Helena ikut tersenyum, tak lama kemudian dia memutuskan tatapan mereka. Berjalan menuju sebuah meja makan, Ivan mengikutinya dari belakang. Lantas, keduanya mendudukkan diri di masing-masing kursi. Mereka saling berhadapan, tepat di samping kanan Helena dan samping kiri Ivan, terdapat sebuah jendela minimalis yang menampilkan lalu lintas di luar hotel.
"Apa yang kamu pikirkan? Pergi ke hotel sendirian?" Cemas melantun dalam nada tanya. Ivan amat khawatir. Dia takut Helena akan melakukan sesuatu yang berbahaya.
Perempuan itu hanya menggeleng. Senyum dia berikan untuk mengurangi rasa khawatir yang kian pekat di wajah Ivan.
"Austin bilang akan datang," balasnya. "Mungkin agak lama. Dia menyuruhku menunggu di sini."
"Kamu percaya dia akan datang?"
Helena mengangguk.
Ivan hanya menghela napas berat sebagai respons jawaban yang ia terima. Tenang pura-pura tak merasakan apa-apa, padahal, rasa ingin memiliki dan merelakan berperang nyaman dalam hati. Cinta sepihak perlahan membunuh suka, menumbuhkan duka.
"Maafkan aku," ucap Ivan.
Tak pelak membuat Helena bertanya, "Ivan, apa yang kamu katakan?" Kening perempuan itu mengernyit, tanda tak paham maksud dari kata maaf dari lelaki itu.
Ivan tak lekas menjawab, dia menatap Helena cermat. Dan memulai. "Maaf karena telah berani mencintaimu." Suaranya sarat akan emosi. Marah pada diri sendiri. Jika hati bisa dikendalikan seperti pemikiran, tentulah Ivan akan memilih perempuan biasa untuk dia jadikan pelabuhan cintanya. Namun, hatinya telah memiliki Helena tanpa disangka.
"Tidak, kamu tak berhak meminta maaf, aku hanya—"
Ucapan Helena terputus ketika Ivan menciumnya tanpa aba-aba. Ada rasa yang menggebu dalam hati perempuan itu. Helena tak mengerti dengan semua yang dia rasa, dia bingung, tetapi masih merasa harsa.
Inikah yang dinamakan, kasmaran pelik?
Di waktu yang bersamaan. Seorang lelaki membuka pintu kamar hotel bernomor 345 dengan membawa sebuket bunga poppy—dia sembunyikan di balik punggung. Setelah melangkah masuk ke dalam, si lelaki menemukan Helena tengah duduk sambil mengelap bibirnya. Hal itu tidak memunculkan pertanyaan apa pun dalam benaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] Rahasia Perselingkuhan Terlarang END
RomanceAustin Keano, seorang pebisnis hotel berbintang, menjalin hubungan cinta terlarang dengan saudara angkatnya, Kenan Pradipta, di tengah pernikahannya yang mulai terasa membosankan dengan istrinya, Helena Rey Surendra. Percaya cintanya kepada Kenan bu...