Cafe bernuansa alam bertema hijau putih itu menjadi pilihan tiga anak manusia yang saat ini duduk di area indoor bagian cafe tersebut. Nayana dan Al saling bertatap bingung, sedangkan Satria masih betah dengan diamnya itu. Sudah terhitung 15 menit meja mereka dihiasi oleh keheningan yang samar-samar diiringi oleh lagu yang diputar disana.
Nayana berdehem. "Are you okay?" tanyanya hati-hati. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya erat guna mengurangi rasa gugupnya. Nada tinggi Satria tadi masih saja terngiang-ngiang ditelinga gadis itu. Mencoba untuk memberanikan diri, gadis yang masih menggunakan seragam sekolah dilapisi dengan cardigan hitam rajut itu mulai berani menatap manik mata hitam milik Satria yang terlihat sangat teduh saat itu.
"Gu-gue..."
Tepukan dikedua bahunya didapatkan Satria dari Al yang duduk disampingnya. "Kalo lo belum siap cerita gausah dipaksa" ucap Al mencoba mengerti keadaan sahabat karibnya itu. Nayana mengangguk mengiyakan, ia masih takut-takut menatap Satria yang sedang menghembuskan nafasnya kasar.
"Gue cape" katanya pasrah. "Gue muak sama semuanya. Gue, gue pengen pulang tapi gak tau harus kemana".
Nayana terdiam. Ia menatap Al mencoba mencari jawaban, sang empu yang dimaksud hanya mengedikkan bahunya pertanda tak tau. Nayana balik menatap Satria, mata yang biasanya terpancar binar saat bercanda dengannya kini terlihat memerah seperti menahan tangis.
"Gue ke toilet dulu" kata Al tiba-tiba. Nayana balas mengangguk singkat. Lelaki itu segara berlalu pergi dari sana. Al tau, pasti Satria tak ingin menunjukkan sisi lemahnya dihadapan dirinya dan Nayana. Biarlah itu semua ia serahkan kepada gadis itu, Al pikir dengan begitu Nayana bisa menjadi pendengar yang baik untuk Satria.
"Cari meja kali ya laper juga gue" gumam Al pelan. Lelaki itu menuju ke salah satu meja di area outdoor. Memesan makanan dan duduk dengan tenang adalah situasi Al saat ini.
Dilain tempat, Nayana yang ditinggal berdua dengan Satria menjadi akward seketika. Biasanya Satria tak pernah menciptakan suasana secanggung ini, selalu saja ada tingkah laku yang dilakukannya dan berhasil membuat Nayana tertawa. Berbeda dengan sekarang, wajah yang biasanya dihiasi oleh ekspresi tengilnya itu kini terlihat murung.
"Gue cape Nay. Demi apapun cape banget. Rumah gue udah pergi dari dulu. Setiap gue pulang itu bukan kerumah tapi tempat persinggahan. Kenapa orang-orang yang gue sayang selalu pergi ninggalin gue? Kenapa gue gak diajak aja? Biar gue gak sendirian. Gue..." lelaki itu tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
"Wanna hug?"
Tanpa babibu lelaki itu langsung berhambur kepelukan Nayana. Dipundak kecil itu, Satria menopang dagunya. Bulir-bulir air mata mulai menetes jatuh mengenai cardigan milik Nayana. Seolah mengadu, Satria memeluk erat gadis itu. Nayana menepuk-nepuk kecil pundak Satria, sesekali ia mengelus rambut lelaki itu guna untuk mengurangi rasa gugupnya. Jujur saja, ia tak pernah memeluk laki-laki lain kecuali Papa dan kedua adiknya.
"Nangis aja, gue tungguin" kata Nayana pelan.
Tak lama Satria melepaskan pelukan itu. Ia membuang muka kearah lain tak mau menatap Nayana. "hey, udah nangisnya?" panggilnya pelan.
Satria tak menjawab. Lelaki itu terdiam. Nayana menunggu dengan sabar disampingnya. "Gue gak suka sama diri gue yang kaya gini, apalagi sampai nangis depan orang lain" kata Satria tiba-tiba.
Nayana mengernyitkan dahinya. "Emang kenapa kalo nangis?" tanya nya penasaran.
"Gue gak pernah mau orang-orang tau kalo gue selemah itu. Tadi gue kelepasan nangis didepan lo sampai meluk lo juga" sesal lelaki itu.
"Satria, listen to me. Lo nangis bukan berarti lo lemah. Itu manusiawi Sat. Kalo emang dengan nangis bisa bikin perasaan lo lebih lega, it's okey. Let it flow!" kata Nayana sungguh-sungguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSECURE (On Going)
Teen FictionIni tentang gadis yang menjadi pengagum rahasia seorang lelaki bertahun-tahun lamanya. Tak ada satupun orang yang tau akan perasaan nya termasuk teman dekatnya. Seorang gadis biasa yang hanya bisa memendam rasa. Nayana Refania ,gadis yang jauh dar...