32. Fakta (satu)✓

2.7K 321 60
                                    

JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT!

JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.
.
.
.

Nabila mengeratkan jaket yang ia kenakan, cuaca siang ini tiba-tiba berubah mendung. Angin bertiup kencang membuat siapa saja menggigil kedinginan. Gadis itu berdiri di depan cafe, menunduk memperhatikan sepatunya.

"Nab!" panggil Rony. Ia datang dari samping sambil membawa syal tebal berwarna coklat tua.

"Pake. Gue takut lo sakit, ntar gue diamuk Paul lagi," ujarnya sedikit bergurau.

"Makasih," kata Nabila.

"Tadi Paul bilang apa pas nelpon?" tanya Rony sembari berjalan masuk ke cafe, diikuti oleh Nabila di sampingnya.

"Katanya kamu gak boleh emosi sebelum cerita papa kamu selesai," jawab Nabila jujur.

Rony berdecak, "emang gue anak kecil, emosian," Cibirnya.

Nabila tersenyum.

"Itu papa kamu," tunjuk Nabila pada seorang pria paruh baya yang duduk berhadapan dengan jendela. Wajahnya tampak melunak, tidak seperti biasanya, arogan.

"Gue penasaran apa yang bikin dia sadar sama kesalahannya. Padahal baru aja dia ngajak ribut," gumam Rony pelan.

"Aku tunggu di meja lain ya, supaya kalian nyaman bicara berdua," ucap Nabila. Gadis itu ingin melangkah menjauh, namun Rony menahan tangannya.

"Gapapa. Lo ikut duduk sama gue. Sebenarnya, gue belum berani hadapin dia sendirian, gue takut beneran kelepasan Nab," ucap Rony jujur.

"Tapi—emang kamu gak masalah aku dengerin obrolan kalian? Bukannya ini privasi?" Ujar Nabila tak enak.

"Lo sahabat gue Nab, bukan orang lain. Ayo," ajak Rony. Ia menarik tangan Nabila agar mengikuti langkahnya.

Semakin dekat jarak mereka, genggaman Rony terasa semakin kuat. Nabila hanya diam, ia paham bagaimana perasaan Rony sekarang.

Sejujurnya, meskipun laki-laki di sampingnya ini terus mengatakan baik-baik saja tanpa sosok papanya, Nabila yakin pasti ada setitik rindu yang ia simpan di dalam hatinya. Itu terlihat jelas sekarang, begitu mereka berhadapan.

"Rony," ujar pria aruh baya itu lega. Senyumnya mengembang, dan itu membuat Rony tidak bisa mengatakan apa-apa. Ia baru pertama kali melihat senyum papanya yang tampak tulus untuknya.

"Nabila," sapanya pada Nabila juga.

"Duduk-duduk. Mau pesan apa?" ujarnya tenang, namun Nabila melihat ada kegugupan besar yang pria aruh baya itu sembunyikan.

"Langsung bicara aja pa, Rony udah kenyang,"  balas Rony acuh. Nabila menoleh, kemudian kembali menatap pria di depannya.

"Nabila? Mau pesan apa?" tawarnya dengan senyum dipaksakan.

Perihal luka [ Sudah Tersedia Di Shopee! ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang