35. Dendam yang belum selesai✓

2.5K 346 37
                                    

JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT.


.
.
.
.
.
.

Salma berjalan terseok-seok di jalanan malam sendirian. Wajahnya yang sembab, pakaian kotor, serta tubuh yang tidak lagi bertenaga.

Salma akui, ia tidak sekuat Nabila. Baru seperti ini saja, ia sudah merasa sangat lelah. Ketakutan-ketakutan yang tidak pernah ia rasakan mulai bermunculan dan menyerang mentalnya.

Rasa ingin mati, yang mungkin selalu Nabila rasakan, kini mulai ia rasakan juga. Dunia terlalu gila untuk mereka, entah siapa yang harus bertanggung jawab untuk segala luka yang tercipta tanpa obat penyembuh ini.

Salma terjatuh, kakinya melemas bersamaan dengan air mata yang mulai mengalir deras melewati pipinya.

Bagaimana ia harus menghadapi Nabila setelah ini?

Bagaimana ia harus menguatkan Nabila jika ia saja sudah selemah ini?

Bagaimana bisa ia membuat Nabila tersenyum, jika ia saja mulai kehilangan senyumannya?

Bagaimana ia harus menatap semesta, jika dunianya sudah di hancurkan?

Nabila adalah dunianya. Tanpa Nabila, mungkin Salma tidak akan berdiri setegak sebelumnya. Ia bertahan karena ada Nabila yang harus ia jaga. Tapi, sekarang Nabila bahkan tidak mampu menatap semesta bersamanya, adiknya terluka terlalu dalam hingga untuk menatapnya saja enggan.

Salma membenci kenyataan...

Angin mulai bertiup kencang, menerbangkan dedaunan yang berserakan di tengah aspal. Beberapa ada yang terjatuh di dekat Salma, mengelilinginya, seolah paham bahwa ada jiwa yang tengah bersedih.

Mungkin benar kata orang, lebih baik sakit terlebih dahulu, daripada bahagia namun menderita pada akhirnya.

Salma mengusap air matanya, mencoba berdiri dan kembali berjalan. Ia harus cepat sampai ke rumah, Nabila pasti belum makan, ia harus menyiapkannya.

"Kebetulan sekali."

Suara berat seseorang di belakangnya terdengar menakutkan. Salma menoleh, kemudian terjatuh. Ia menatap beberapa orang berperawakan besar di depannya waspada. Siapa mereka? Preman? Atau—

"Apa kabar Salma?" tanyanya disertai seringai licik.

"Siapa?" tanya Salma. Suaranya tercekat karena terlalu banyak menangis.

"Ternyata benar nama kamu Salma. Salma Ayudia Rizkala. Putri kandung dari Alan Wiranata dan Soraya Arumi. Iya kan?" tanyanya lagi.

Salma berdiri susah payah, menatap tajam mereka meski dalam hati ia sudah berteriak ketakutan.

"Jangan takut begitu. Saya tidak akan menyakiti kamu." ucapnya tertawa.

Salma menegakkan tubuhnya, "kalian siapa? Mau apa?" ulangnya.

"Jangan buru-buru begitu. Santai saja, saya cuma mau ngajak kamu ngobrol sebentar kok." ucapnya.

"Saya gak kenal kalian—

"Yaa..kamu memang tidak mengenal saya, tapi papa kamu. Bajingan brengsek itu."ucapnya membuat tubuh Salma tersentak.

Bajingan brengsek?

Memangnya sejahat apa papanya dulu?

"Kenapa muka kamu tegang begitu? Penasaran ya, seperti apa sosok papa kandung kamu?" tanyanya terkesan seperti sedang bercanda. Namun, Salma bisa melihat sinar kebencian di matanya.

"Bagaimana kabar adik kamu? Ah, lebih tepatnya adik tiri kamu? Jantung dia baik-baik aja kan?" tanyanya tertawa.

Salma mengeryit, jantung Nabila? Sebenarnya apa yang mau orang ini sampaikan?

Perihal luka [ Sudah Tersedia Di Shopee! ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang