Sakha memilih untuk pulang ke rumah. Seluruh tubuh dan pikirannya begitu lelah, perlahan Sakha melepas jaket dan melemparnya begitu saja ke sofa. Seharusnya anak tangga pertama sudah diinjak oleh Sakha jika saja dia tak mendengar suara tawa dari arah dapur. Sakha mengurung niatnya untuk ke kamar dan langsung memindahkan langkah menuju dapur.
"Ih, tantee.. kok jadi gini sih?" tanya Calista masih dengan tawa. Sakha tersenyum melihat keakraban keduanya, Sakha terus memandang Calista yang jika tertawa kedua matanya akan tersenyum dan wajahnya membentuk suatu emoji yang lucu.
"Aduh ... Gimana ini, Calista? Di Youtube bilang takarannya segitu."
"Gapapa Tante, mau gimana lagi, besok kita coba lagi aja," pasrah Calista. Sekilas tawanya masih terdengar saat melihat bentukan kue yang terlalu cair itu. Renca saja tak henti-hentinya tertawa.
"Eh, Sakha," Calista tersadar ada orang lain selain mereka di dapur.
Renca mengangkat pandangan dan tersenyum menyapa anaknya. "Eh anak Mama udah pulang, mau makan gak nak?"
"Nanti aja, Sakha masih kenyang." Jawaban dari Sakha dibalas anggukan oleh Renca. Renca tersenyum menyadari anaknya yang masih berdiri tepat di batas dapur dan ruang keluarga. "Kamu lagi sibuk, Ta?" Pertanyaan itu memang sudah Renca duga.
"Iya, ini lagi buat kue sama Tante."
"Oh, Sakha ke kamar ya." Perlahan punggung Sakha mulai menghilang dari pandangan.
"Ta, kamu temenin Sakha sana gih, dia kayanya mau ngobrol tuh," senggol Renca.
"Ah engga Tante, orang tatapannya serem gitu," balas Calista sembari membentuk-bentuk adonan.
"Serem-an mana sama Tante?" Calista mendongak melihat wajah Renca. Gelak tawa seketika memenuhi dapur, Calista sangat terkejut karena Renca sengaja melotot padanya.
"Cepat datangin Sakha!" suruh Renca dengan tawa.
"Beneran? Tante gak bakal nyesal? Tante gak takut kangen apa sama Calista?"
"Engga takut," Renca menuruti gaya bicara Calista.
"Beneran? Kalau Calista gak balik ke dapur lagi, gimana?
"Anak ini ya-"
Belum sempat Renca melanjutkan ucapannya, Calista sudah lebih dulu lari seraya melambai pada ibu Sakha yang begitu friendly. Calista segera berlari menyusul Sakha yang sedang menaiki tangga. Luka memar terlihat jelas saat Calista berdiri di dekatnya.
"Sakha, pipimu kenapa?"
"Gapapa," jawab Sakha seraya melanjutkan langkah ke anak tangga berikutnya.
"Gapapa gimana? Tadi pas pulang sekolah ku lihat pipimu baik-baik aja, ini jadi gini, kenapa?"
"Tenang, gue baik-baik aja. Sekarang lo diam, biar gue yang bicara." Calista mengangguk mengiyakan.
"Giza ada buat lo luka gak? Utara bilang Giza tadi ganggu lo."
"Iya, tapi aku aman kok, Kha. Untung ada Utara."
"Maaf ya Ta, gue gak disana buat lindungin lo, saat jam ganti baju gue lagi beresin bola basket."
Bayangan tentang Sakha dan Nesda seketika muncul di pikiran Calista. Sakha berbohong padanya. Calista mengangguk pelan dan mencoba untuk tetap berpikir positif.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAKHALISTA
Teen FictionTeror berkepanjangan pada Calista membuat Sakha-ketua geng Razvider di Bandung terus khawatir. Gadis dari London itu telah mencuri kembali hati Sakha, dan bagaimana pun Calista harus tetap aman bersamanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa pelaku...