|29| - Rumah untuk pulang

89 7 0
                                    

Sakha tersenyum melirik jam di tangan. Waktu menunjukkan pukul 16.25. Berdiri seorang gadis di sebrang sana, menyapa Sakha.

Senyuman gadis itu tersamarkan dengan rintikan hujan yang sedang turun di kota. Sakha teringat, akan perkataan Gluvi—salah satu anggota Razvider yang pintar melacak dan mencari tahu sesuatu. Gluvi mengatakan ada senyawa berbahaya di dalam suntikan yang satu minggu lalu hampir saja disuntikkan pada botol infus Calista. Ditambah kertas ancaman yang Sakha temukan di sisi tubuh Calista saat gadis itu kembali menidurkan dirinya, membuat Sakha sangat khawatir akan keselamatan Calista. Karena bahaya terus saja mengincarnya.

Lampu merah menyala. Beberapa kendaraan segera menghentikan laju mereka. Melihat kondisi aman, Calista segera melangkahkan kaki bersama payungnya yang berwarna biru gelap. Ia berjalan di atas zebracross, menerpa angin yang berhembus ke tubuhnya. Langkah Calista terhenti saat ia sudah berdiri di dekat Sakha yang berteduh di bawah atap toko tanpa penghuni. Lelaki itu lagi-lagi termenung, entah memikirkan apa.

Calista tersenyum jahil, memukul topi Sakha hingga topi itu jatuh menutupi kedua matanya. "Mikirin apa sih?"

"Usil banget sih, Ta." Sakha memperbaiki topi dikepalanya.

Calista tertawa. "Aduh, sorry ya. Lagian kamu kenapa sih? Kayanya akhir-akhir ini berat gitu buat kamu? Bilang aja ke aku, mungkin aku bisa bantu, Kha."

Sakha menatap Calista. Gadis itu diam menunggu apa yang akan diucapkan oleh Sakha. Sakha sendiri juga diam, tidak mungkin mengatakan semua kekhawatirannya pada Calista. Sakha baru tersadar dengan pakaian yang dipakai gadis dihadapannya saat ia menundukkan kepala. Baju kaos lucu dengan warna pastel pemberian Sakha ternyata sangat sesuai dengan Calista. Hadiah itu diberikan saat hari di mana Calista keluar dari rumah sakit.

Sakha menaikkan pandangan. "Bajunya nyaman gak?"

"Eh." Calista terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba darinya. "Aku pikir kamu gak notice baju ini, Kha. Bajunya nyaman banget, aku suka, terima kasih yaa."

Sakha mengangguk. "Terima kasih juga."

Calista menatap bingung. "Untuk apa?"

"Gak ada, cuma bilang," jawab Sakha melangkah melewati Calista.

Lelaki itu berjalan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana menerobos rintikan hujan yang turun dengan langkah santai. Calista segera berbalik, berlari mengejar Sakha dengan payung di tangannya. Sakha tersenyum mendengar panggilan dari Calista. Tak berselang lama, gadis itu dapat menahan lengan Sakha menghentikan langkahnya.

"Kamu ini hujan-hujanan Kha, pakai payung dulu kalau mau jalan! Kan aku dah ingatin tadi pas awan mendung, tapi kamu malah gak bawa."

Duh. Sakha kena omel kan.

"Iya, aku salah, maaf ya." Sakha tersenyum. "Satu payung berdua gapapa, kan?"

Calista menahan senyum, karena tiap hari tingkah laku Sakha perlahan berubah dan jauh lebih humble. Calista saja tidak menduga dia akan meminta dengan hati-hati untuk satu payung berdua. Padahal, sudah jelas Calista pasti akan membiarkan Sakha se-payung dengannya.

🌹

Di tengah gerimis hujan yang turun, beberapa payung terlihat dari atas menghiasi seisi jalan. Beberapa dari mereka berteduh di tempat yang aman dari rintikan hujan, salah satunya Laufa. Gadis itu sebenarnya berani berdiri di bawah hujan mau sederas apapun hujan itu, tapi tidak akan berani jika hujan itu turun bersama kilatan petir dan guntur. Laufa takut mereka, walau sekecil apapun suaranya.

"Haduhh ... Sadaya kertas aing baseuh ieu teh." (Aduh, semua kertas gue basah ini mah)

Laufa menoleh saat seorang lelaki datang tiba-tiba ikut meneduh. Lelaki itu membelakangi Laufa, ia tengah sibuk memeriksa sekantong plastik yang Laufa ketahui dari keluhannya berisikan kertas-kertas yang mungkin penting untuknya.

SAKHALISTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang